KedaiPena.com – Menyadari rusaknya lingkungan Kalimantan Barat menjadi salah satu pemicu risiko dampak bencana bukanlah suatu hal yang istimewa. Hal yang perlu dilakukan adalah mengambil kebijakan nyata untuk mencegah agar tak terjadi kerusakan yang lebih luas dan melakukan perbaikan pada area yang mengalami kerusakan.
Hal ini diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Barat Nicodemus Ale.
Walaupun ia mengamini pernyataan Presiden Joko Widodo yang menyebut banjir di Sintang, Kalbar diakibatkan oleh kerusakan lingkungan berpuluh-puluh tahun, namun yang perlu dilakukan adalah membuat upaya-upaya konkret dalam mengurangi dan memperbaiki lingkungan yang telah rusak.
“Benar yang bapak Presiden bilang kondisi wilayah Kalbar udah rusak. Maksud kita, jangan cuman ber-statement, tapi konkretkan dengan upaya. Konkretnya apa?” kata Nico, disampaikan Selasa (16/11/2021).
Nico berpandangan Jokowi harus melakukan upaya-upaya yang lebih mengakar. Ia menyebut, reboisasi (penghijauan kembali) saja tidak cukup. Sebab, permasalahan lingkungan di Kalbar sangat kompleks.
“Yang perlu Presiden lakukan adalah revisi tata ruang. Dengan revisi tersebut, maka harus ada batas yang jelas antara kawasan produksi dan non-produksi,” ujarnya tegas.
Kawasan produksi yang dimaksud yaitu kawasan yang digunakan untuk industri, seperti untuk perusahaan tambang dan sawit.
“Konkretnya apa? Reboisasi iya, tapi enggak menjawab secara keseluruhan. Menurut kacamata WALHI, yang harus dilakukan baik mulai sekarang, bahkan tahun depan, melakukan revisi tata ruang,” ujarnya lagi.
Tata Ruang Kalbar sudah Kritis
Nico mengungkapkan permasalahan tata ruang di Kalbar sangat riil. Dimana kawasan yang digunakan untuk industri melebihi batas yang ditentukan (overload).
Tercatat, dari 14,7 juta hektar lahan daratan Kalbar, sebanyak 6,4 juta hektar diperuntukkan untuk produksi atau aktivitas investasi. Sisanya, 8,3 juta adalah kawasan non produksi. Artinya, kawasan ini tidak boleh ada aktivitas investasi. Faktanya, lebih dari separuh kawasan nonproduksi juga digunakan untuk produksi.
“Nah 6,4 yang aktivitas produksi investasi itu sekarang sudah overload dengan total investasi itu sekitar 12 juta hektar itu sudah diplotkan menjadi industri,” papar Nico.
Dengan kondisi seperti ini, Nico menyatakan artinya sudah 100 persen lebih terjadi kesalahan.
“Oke perencanaannya benar, tapi dalam implementasi perencanaannya itu enggak benar. Itu udah melenceng jauh, udah 100 persen lebih,” ujarnya menambahkan.
Nico juga menyarankan Jokowi untuk segera melakukan revisi perizinan terkait investasi skala besar yang ada di Kalbar. Sebab, pihaknya banyak menemukan praktik perusahaan berbasis hutan menjadi salah satu indikator yang merusak lingkungan.
“Misalnya perusahaan yang mendapatkan izin konsesi ada yang sampai masuk dalam status kawasan hutan. Itu yang harus dilakukan revisi,” ungkapnya.
Revisi aturan juga perlu dilakukan untuk pembukaan lahan perkebunan, yang kerap dilakukan oleh perusahaan hingga ke bibir sungai. Dan perlu dilakukan revisi pada batas minimum kawasan hutan.
Sebab, dengan dihapusnya batas minimum 30 persen kawasan hutan pada Pasal 35 UU Cipta Kerja, bisa berdampak lebih buruk terhadap lingkungan.
“Yang minimum 30 persen hutan saja dampaknya sudah kayak gini. Apalagi kalau hutan itu dihilangkan,” pungkasnya.