Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
Perayaan 17 Agustus di DPR dan Istana, kemarin, semakin memperlihatkan penguasa saat ini mengelola Indonesia seperti Negara Teater.
Antropolog Clifford Geertz yang mengintrodusir istilah ini mendefinisikan Negara Teater bukan pemerintahan yang mendedikasikan diri untuk kepentingan mayoritas rakyat.
Bahkan bukan pula suatu birokrasi yang bertujuan melayani rakyat. Melainkan sebuah pertunjukan teater yang diorganisir.
Negara Teater menekankan dramatisasi obsesi-obsesi kelas yang berkuasa, seperti para politisi, dan raja.
Salah satu cirinya ialah mengutamakan ritual, seremonial, dan simbol.
Pemakaian baju adat daerah yang kerap dieksploitasi dalam setiap perayaan 17 Agustus belakangan ini merupakan simbol yang dimaksud, yang menjadi salah satu ciri Negara Teater.
Dimana kesan yang muncul bukan saja kontradiktif, tetapi juga memperlihatkan watak hipokrit kekuasaan.
Karena faktanya banyak persoalan daerah diabaikan. Mulai dari masalah yang terjadi di Papua, Wadas di Jawa Tengah, konflik masyarakat Labuan Bajo dan Pulau Komodo dengan penguasa dalam persoalan destinasi wisata dan harga tiket, banyaknya wilayah adat yang digusur oleh perusahaan tambang dan perkebunan, yang mengakibatkan konflik serta tak tak jarang menimbulkan korban di pihak rakyat.
Sementara itu serbuan TKA China ke sejumlah daerah yang sering tak terdeteksi bukan hanya menimbulkan problem serius mengenai perebutan lapangan kerja dengan penduduk lokal, namun juga berdampak pada persoalan pertahanan dan keamanan nasional.
Di sisi lain nilai-nilai kearifan lokal yang merupakan salah satu elemen adat kian tergerus oleh budaya global, sehingga tak sedikit generasi Milenial kini tak mengenal adat-istiadat daerah masing-masing.
Bangsa beradab adalah bangsa yang menjunjung adat. Mempermainkan adat sebagai alat pencitraan hanya akan menjadikan kita bangsa yang “tidak tahu adat”. Dalam arti hipokrit!
Apakah sebenarnya makna yang dapat dipetik di balik gemerlap perayaan HUT ke 77 RI kemarin, di balik motif dan tata warna busana daerah yang dikenakan secara basa-basi oleh para elit kekuasaan, di tengah lambaian bendera yang terkesan dikibarkan asal rame, dan goyang dangdut koplo yang dinyanyikan oleh seorang biduan cilik di halaman Istana?
Mereka sebenarnya sedang merayakan berbagai kehilangan yang kini dialami oleh mayoritas rakyat Indonesia.
Yaitu kehilangan Negara Hukum (Rechtsstaat) yang kini mereka jadikan Machsstaat (Negara Penguasa).
Mereka merayakan hilangnya keadilan, merayakan kian brutalnya praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, merayakan sukses menumpuk utang, merayakan kemiskinan dan kesusahan hidup akibat tingginya harga-harga kebutuhan yang dialami oleh rakyat jelata yang kini melata.
Merayakan kebengisan aparat hukum yang kini tiada dapat lagi dibedakan dengan mafioso, merayakan “prestasi” BuzzersRp memfitnah dan memecahbelah umat, merayakan jebolnya APBN untuk mengongkosi kereta api cepat yang mangkrak, merayakan presidential treshold 20 persen yang coba terus mereka pertahankan, merayakan Ketua MK yang terikat semenda, merayakan bakal munculnya kembali capres boneka seperti keinginan oligarki, dan seterusnya …
Esensinya, mereka kemarin merayakan hilangnya tujuan bernegara yang diamanatkan oleh Konstitusi, sambil dengan tiada malu memekikkan kata merdeka.
[***]