PUBLIK Indonesia kembali digegerkan dengan pemberitaan terjadinya kekerasan seksual terhadap seseorang mahasiswi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Terjadinya kasus kekerasan seksual dalam lingkup institusi pendidikan bukan yang pertama kali terjadi di Indonesia.
Kekerasan seksual masih dianggap tabu bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, perdebatan yang terjadi masih kental dengan unsur moral dan pelanggaran asusila yang justru menghadirkan narasi menyalahkan korban. Apapun itu, penyintas jelas butuh perlindungan.
Menurut ICJR perdebatan yang muncul dari kasus kekerasan seksual yang menimpa Agni-bukan nama sebenarnya- (dikutip dari balairung press) tentang apakah perbuatan yang menimpa korban sebagai perkosaan dalam Pasal 285 KUHP atau perbuatan cabul dalam Pasal 289 KUHP tidak lagi relevan dan bukan inti dari permasalahan.
Perdebatan ini tidak menafikkan fakta bahwa telah terjadi kekerasan seksual. Korban kekerasan seksual apapun bentuk tindak pidananya harus mendapatkan perlindungan, baik dari sistem maupun dari masyarakat.
Berbicara mengenai definisi perkosaan sekalipun, pengaturan perkosaan di negara-negara di dunia telah jauh berkembang dibandingkan apa yang masih diatur di Indonesia dalam KUHP.
Di Belanda sendiri, negara yang KUHP-nya diadopsi oleh Indonesia, pengaturan perkosaan sudah banyak berkembang. KUHP Belanda mengatur perkosaan dengan bunyi;
“Any person who by an act of violence or any other act or by threat of violence or threat of any other act compels a person to submit to acts comprising or including sexual penetration of the body shall be guilty of rape and shall be liable to a term of imprisonment not exceeding twelve years or a fine of the fifth category.”
Definisi perkosaan yang diatur dalam KUHP Belanda tidak lagi terbatas pada perempuan sebagai korban dan tindakan persetubuhan (penetrasi penis ke vagina). Penetrasi tidak hanya dimaknai secara terbatas sebagai masuknya alat kelamin laki-laki ke dalam alat kelamin perempuan, namun sudah berkembang kepada masukknya organ tubuh lain ke dalam alat kelamin maupun sebaliknya.
Sedangkan di Indonesia sendiri, ketentuan perkosaan dalam Pasal 285 KUHP masih berasal dari KUHP Belanda yang pertama kali dibuat pada tahun 1881 dan pada tahun 1915 mengalami perubahan dan menjadi KUHP Hindia Belanda yang diberlakukan di Indonesia. Ketentuan Pasal 285 tersebut bahkan sudah tidak lagi digunakan di Belanda. Hal ini jelas menujukkan bahwa Indonesia perlu mengatur ulang perkosaan dalam hukum pidananya.
Berdasarkan pemantauan ICJR, kasus kekerasan seksual yang terjadi dalam institusi pendidikan bukanlah kali ini saja terjadi. Sebelumnya, kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh SR yang menimpa mahasiswa Universitas Indonesia sempat mengemuka di tahun 2015. Tidak hanya itu, pada tahun yang sama, kasus kekerasan seksual terhadap mahasiswi juga terjadi di UNJ.
ICJR mencatat beberapa hal mengenai kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi dalam lingkup institusi pendidikan ini.
Pertama, apabila kasus ini nantinya akan diselesaikan melalui sistem peradilan pidana, hak-hak penyintas sebagai korban kekerasan seksual, tidak dapat diabaikan begitu saja. Dalam hal terjadi perkosaan maupun perbuatan cabul, penyintas berhak memperoleh perlindungan yang komprehensif, baik dari institusi pendidikan itu sendiri, maupun dari negara, yang juga bertanggung jawab terhadap korban.
Dalam Pasal 6 UU Perlindungan Saksi dan Korban, dinyatakan bahwa korban kekerasan seksual berhak memperoleh bantuan medis serta bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis. Tidak hanya itu, dalam Pasal 5 UU PSK, ditegaskan bahwa korban berhak memberikan keterangan tanpa tekanan, bebas dari pertanyaan yang menjerat, mendapatkan pendampingan, serta mendapatkan penasihat hukum. Tidak hanya korban, pelaku dalam sistem peradilan pidana juga harus diberikan jaminan terhadap peradilan yang adil dan berimbang, sebagaimana diatur dalam KUHAP.
Kedua, berkaca dari kasus ini, dapat terlihat bahwa terdapat rentang waktu tertentu yang diperlukan korban kekerasan seksual untuk memproses atau melaporkan kasusnya. Hal ini jelas menandakan bahwa hukum pidana dan hukum acara kekerasan seksual harus mampu mengakodomir kebutuhan korban dalam konteks ini.
Penyintas dalam setiap proses kasusnya, baik dalam konteks peradilan pidana maupun tidak jelas membutuhkan pendampingan psikologis maupun pendampingan hukum yang intensif untuk dapat memproses kasusnya. Dalam proses tersebut, harus dijamin bahwa korban tidak akan disalahkan dan hak-hak nya diberikan.
Ketiga, Pemerintah dan DPR selaku perumus kebijakan lewat pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan RKUHP harus mampu menghadirkan jaminan akan keadilan bagi korban kekerasan seksual termasuk pengaturan spesifik dalam hukum acara.
Langkah baik sudah ditunjukkan dalam pengaturan Peraturan Mahkamah Agung No 3 tahun 2017 tentang Pedoman mengadili perempuan yang berhadapan dengan Hukum yang mengatur bahwa perempuan dalam proses peradilan, termasuk korban berhak atas pertanyaan tidak menyalahkan dan merendahkan, serta berhak atas pendampingan.
Jaminan hak ini perlu diatur tidak hanya dalam proses persidangan namun juga dalam sistem peradilan pidana keseluruhan.
Atas hal tersebut, ICJR memberikan rekomendasi, pertama, perlindungan terhadap korban kekerasan seksual harus diberikan maksimal baik oleh UGM, maupun negara. Negara harus turun tangan untuk memberikan perlindungan bagi korban kekerasan seksual ini baik melalui LPSK atau Institusi negara lainnya yang kompeten dengan memberikan pendampingan dan perlindungan.
Kedua, UGM sebagai institusi yang menaungi korban dan pelaku dalam kasus ini, tidak boleh hanya melihat kasus ini sebagai satu kejadian yang berdiri sendiri dan berhenti dengan memberikan pernyataan mengutuk dan menyayangkan terjadinya peristiwa ini.
Peristiwa ini menunjukkan bahwa sistem perlindungan terhadap kekerasan seksual dan sistem perlindungan terhadap korban belum berjalan dengan baik dan efektif. Institusi pendidikan lain harus belajar dari kasus ini dan berusaha membangun sistem yang dapat mencegah terulangnya kasus ini di masa yang akan mendatang.
Ketiga, selain penyintas, untuk menjamin proses yang adil, pelaku dalam kasus ini harus dijamin hak-haknya untuk memperoleh peradilan yang adil dan berimbang jika penyelesaian kasus ini diarahkan kepada sistem peradilan pidana.
Keempat, melihat begitu pesatnya perkembangan definisi dari perkosaan yang ada di dalam sistem peradilan pidana negara-negara lain, salah satunya Belanda, Pemerintah Indonesia dan DPR harus mampu mengakomodasi perkembangan ini dalam peraturan perundang-undangan pidana nasionalnya melalui pembahasan RUU PKS dan RKUHP.
Terakhir, Pemerintah dan DPR juga harus mampu menghadirkan hukum acara pidana yang dapat menjamin terpenuhinya hak-hak korban kekerasan seksual, mengingat kebutuhan khusus korban kekerasan seksual
Oleh Anggara, Direktur Eksekutif ICJR (Institute for Criminal Justice Reform)