KedaiPena.com – Kekhawatiran akan terjadinya kebakaran dan munculnya asap semakin membesar, sejalan dengan dikeluarkannya data sebaran titik api beberapa waktu lalu. Apalagi, pemerintah sepertinya tidak melakukan langkah-langkah antisipasi untuk mencegah terjadinya kebakaran.
Anggota Dewan Pakar DPP Gerindra, Bambang Haryo Soekartono (BHS) mengaku sangat prihatin dengan adanya data sebaran titik api atau panas di Indonesia sudah sangat banyak.
“Lebih dari 1000 titik api. Di Kalimantan ada sekitar 465 titik, Sumatra 192 Titik, Jawa 44 titik, Nusa tenggara 27 titik, Sulawesi 14 titik, dan titik titik lainnya di seluruh Indonesia. Dan yang sangat memprihatinkan, sudah mulai merambah di wilayah Kalimantan Timur mendekati IKN terdapat sebaran titik api,” kata BHS, Selasa (30/7/2024).
Adanya sebaran titik api atau Hot spot ini, lanjutnya, akan membuka potensi polusi asap akibat kebakaran dengan skala yang besar di wilayah Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, serta sebagian besar pulau Jawa.
“Kondisi ini pastinya menganggu kesehatan, terutama anak anak kecil yang terkena ISPA bahkan bisa mengkibatkan kematian. Asap akibat kebakaran ini tentu juga akan mengganggu perekonomian, industri, perdagangan, pariwisata dan lain lain,” ucap BHS yang juga sebagai Dewan Pakar Gerindra.
Seperti berkali kali ia ingatkan kepada Menteri KLHK, BHS kembali menegaskan bahwa asap kebakaran hutan ini lah yang menjadi penyebab polusi di kota kota wilayah Jawa sebelah Utara. Sehingga menjadikan udara kota-kota seperti Jakarta, Semarang, Surabaya memiliki ambang batas kualitas udara yang tidak sehat. Demikian juga Flora Fauna yang sangat spesifik hutan di wilayah titik nyala api akan punah.
“Harusnya Pemerintah segera pro aktif khususnya, Kementrian Kehutanan, untuk melakukan aksi pencegahan dengan menyiram hutan hutan setiap 1 minggu sekali, seperti yang dilakukan oleh beberapa negara tetangga di Asia Tenggara,” tuturnya.
Seperti diketahui, Malaysia Semenanjung dan Malaysia Kalimantan memiliki luasan hutan sebesar 32 juta hektar, Brunei Darussalam sebesar 527.000 hektar, dan juga Thailand sebesar 51 juta hektar.
“Tidak ada satupun titik nyala api yang terpantau di negara-negara tersebut. Kenapa? karena Pemerintah dari negara negara tersebut melakukan pencegahan dengan menyiram secara rutin sebanyak 1 minggu sekali pada saat wilayah mereka sedang musim kemarau, sehingga titik nyala api bisa dihindarkan. Sedangkan hutan di Indonesia tinggal sekitar 80 juta hektar, terdapat titik kebakaran lebih dari 1.000 titik,” tuturnya lagi.
BHS mengatakan sudah menjadi pengetahuan umum bahwa tumbuhan yang mempunyai daun hijau, tidak akan kering sampai batas waktu 21 hari, walaupun tidak disiram. Dan tumbuhan yang tidak kering (daunnya hijau) sulit terbakar, karena daun mengandung 80 persen air. Fakta ini bisa dicek dengan mencoba membakar daun berwarna hijau dengan menggunakan korek, bisa dipastikan tidak akan terbakar.
Ia menyatakan saat ini arah angin di Indonesia masih menguntungkan karena arah angin saat awal Agustus ini mengarah ke barat daya.
“Kalau akhir agustus akan mengarah menuju ke selatan dan selanjutnya menuju ke arah timur, maka seluruh kota kota di Jawa dan Kalimantan termasuk Ibu Kota Negara (IKN) akan penuh dengan asap. Dan tentu asap ini juga akan menganggu negara tetangga kita seperti Malaysia, Brunei dan Singapura,” kata BHS.
Ia meminta kepada semua pihak, untuk berhenti menyalahkan industri dan transportasi atas hadirnya asap tebal di wilayah Indonesia, khususnya Jawa.
“Atau bahkan mengatakan ada oknum yang membakar hutan, itu tidak benar. Yang jelas karena kurangnya perhatian dari Pengelola Hutan kita yaitu Kementrian Kehutanan dan Perhutani, yang saat ini hutannya banyak terbakar,” imbuhnya.
Ia menegaskan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) harus bertanggung jawab penuh dalam hal kebakaran hutan dan timbulnya asap saat ini akibat tidak merawat hutan.
“Apalagi Kementrian tersebut sudah diberikan anggaran yang sangat besar dan fasilitas kendaraan berupa armada transportasi udara untuk penyemprotan, yang jumlahnya cukup banyak. Tetapi kenapa tidak bergerak untuk melakukan pencagahan dengan rekayasa cuaca atau penyemprotan yang menggunakan armada pesawat yang ada. Ini terlihat tidak ada kepedulian terhadap lingkungan dan dampaknya ke Masyarakat,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa