Artikel ini ditulis oleh Hendrajit, Pengamat Geopolitik.
Kunci memahami karakter Gorbachev kenapa akhirnya meniti jalan takdir seperti yang kita ketahui sekarang, rupanya karena punya kombinasi yang orang lain jarang punyai. Tapi dalam dirinya justru menyatu jadi karakter dan wataknya.
Cerdas, kritis dalam pemikiran maupun dalam menghayati ideologi marxisme-leninisme-nya, tapi setia atau loyal pada atasan dan cita-cita bersama bangsanya. Maka di dalam penglihatan para seniornya yang kebetulan punya watak yang sama dengan Gorby seperti Andrey Gromiko dan Michael Suslov, ketika Gorby mulai aktif dalam politik baik sejak di organ kepemudaan Konsomol, hingga di komite sentral partai dan politibiro, Gorby adalah mutiara terpendam, yang satu saat harus diasah jadi emas murni.
Momentun itu tiba pada 1985, ketika Andropov meninggal dan penggantinya, Chernenko dalam usia yang sudah uzur dan bau tanah, Suslov dan Gromiko sebagai anggota politbiro partai, punya alasan kuat untuk menampilkan sosok muda, memimpin Soviet. Mikhail Gorbachev. Usianya waktu itu tergolong relatif muda, 54 tahun.
Kata kuncinya ya tiga itu tadi: Cerdas, Kritis, namun tetap setia. Setia pada atasan dan senior, juga setia pada cita-cita.
Selain itu, ada dua pengalaman Gorby yang tak kalah penting, sehingga kelak merajut masa depannya tanpa dia sadari. Sewaktu usia 19 pada 1950, naik kereta ke Moskow, untuk kuliah di Universitas Negeri Moskow, di sepanjang jalan melewati beberapa kota yang hancur lebur akibat serangan militer Jerman pada Perang Dunia II.
“Saya pergi untuk belajar di Universitas Negeri Moskow, dan saya bepergian melalui Stalingrad(sekarang St Petersburg) yang telah dihancurkan, melewati Voronezh yang sudah dihancurkan, dan Rostov yang juga hancur. Tidak ada satu pun kecuali puing-puing di mana mana. Saya bepergian sebagai seorang pelajar dan melihat itu semua.Seluruh negara berada dalam kehancuran,” begitu penuturan Gorby kepada seorang wartawan pada dekade 1980-an saat dirinya sudah jadi orang nomor satu Soviet.
Satu lagi pengalaman Gorby, adalah pengalaman intelektual sewaktu di bangku kuliah. Khususnya ketika di bawah bimbingan dosen dan mentornya yang sangat cerdas, Prof Stepan Fyodorovich Kechekyan. Prof Stepan punya style khusus dalam membawakan kuliah-kuliahnya mengenai sejarah ide-ide politik. Termasuk tentu saja gagasan-gagassan Karl Marx.
Prof Stepan punya kemampuan menggiring para mahasiswanya untuk menyelami betapa pentingnya mempelajari dan menguasai berbagai kekuatan-kekuatan pemikiran dan gagasan tanpa harus dipengaruhi oleh dogma-dogma atau dialektika pemikiran yang sudah membeku.
Hal ini nampaknya amat berkesan bagi Gorby. Seperti penuturan salah satu teman sekelasnya kelak di kemudian hari: “Bagi Gorbachev, berbeda dengan orang-orang Soviet lainnya,dia tidak melihat Marxisme sebagai sebuah kumpulan aksioma yang harus dihafalkan. Sebaliknya, buat Gorby, teori marxis justru punya nilai sebagai alat untuk mengerti dunia.”
Selain itu, Gorbachev juga amat terkesan pada aphorisme Hegel: “Kebenaran selalu konkret.” Artinya, pemikiran atau teori harus paralel dengan kehidupan yang sesungguhnya. Harus membumi.
Dari dua pengalaman Gorby di era 1950-an inilah, nampaknya terbenam di alam bawah sadarnya. Dorongan kuat untuk mengantisipasi kehancuran seperti tergambar secara fisik sewaktu dalam perjalanan ke Moskow. Serta kesan yang tertanam kuat semasa kuliah, bahwa Marxisme bukan dogma, namun alat analisis untuk mendinamisasikan munculnya suatu keadaan baru.
Inilah dua ingatan atau memori yang membekas pada diri Gorby. Namun seperti ungkapan orang-orang arif dan bijaksana. Ingatan bisa menjelma jadi ilmu.
Jembatan dalam mengubah dua pengalaman membekas tadi sehingga menjelma jadi ilmu: adalah kecerdasan dan ketajaman pemikirannya. Maka lahirnya dua kata kunci menuju Rusia baru. Glasnost dan Perestroika. Keterbukaan dan Resktrukturisasi.
Keterbukaan bukan sekadar demokrasi atau kebebasan. Keterbukaan adalah kesediaan Rusia sebagai bangsa untuk kembali ke jatidirinya. Membuka diri terhadap berbagai kemungkinan baru yang belum diketahui atau belum terjelaskan. Bersedia menengok ke belakang namun bukan larut ke belakang, namun justru harus melangkah ke depan. Untuk melangkah ke depan, maka perlu perestroika.
Adapun Restrukturisasi, merupakan peninjauan ulang atau reorientasi visi-misi. Dan itulah tahapan yang sedang dilalui sekarang. Tapi bukan oleh Gorby, tapi oleh Putin.
[***]