KedaiPena.Com – Akhir-akhir ini represifitas Negara terhadap rakyat pekerja seperti petani, buruh, nelayan, masyarakat adat, miskin kota, perempuan, aktivis kemanusiaan dan lain-lain semakin meningkat. Mulai kasus Salim Kancil di Lumajang, penggusuran Kampung Pulo, reklamasi Teluk Benoa dan Teluk Jakarta, serta represifitas dan kriminalisasi terhadap 23 aktivis buruh dan 2 orang tim advokasi LBH Jakarta saat melakukan aksi didepan Istana Negara.
Selain itu terjadi potensi terserabutnya akses perempuan terhadap sumber penghidupan seperti yang dialami masyarakat di pegunungan Kendeng di Rembang ketika akan dibangun pabrik semen. Tindak kekerasan juga dilakukan oleh Negara kepada masyarakat Papua yang melakukan aksi damai di Jakarta bulan Desember 2015. Serta yang baru saja terjadi di bulan Februari 2016 ini adalah tindakan kekerasan dalam proses penggusuran terkait rencana pembangunan bandara baru Kulonprogo di kecamatan Temon.
Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI), yang terdiri dari berbagai federasi-federasi organisasi multisektor, juga kerap kali mengalami konflik lahan. Hal ini bukan hanya dialami oleh anggota KPRI yang berasal dari organisasi-organisasi petani, namun juga dialami oleh organisasi-organisasi yang berasal dari nelayan, masyarakat adat, dan yang lainnya.
“Dalam konflik lahan contohnya vonis terhadap tiga petani anggota Serikat Petani Pasundan (SPP) yang telah dijatuhkan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Tasikmalaya. Mereka dihukum akibat dituduh menebang satu pohon jati,” kata Ketua Dewan Pimpinan Nasional Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI) Chabibullah dalam keterangannya kepada KedaiPena.Com, Jumat (19/2).
Ia menambahkan, fenomena yang terjadi pada anggota Serikat Petani Pasundan sebenarnya hanya memperpanjang konflik lahan yang berujung pada kriminalisasi. Contoh lainnya adalah yang dialami oleh anggota KPRI dari masyarakat adat Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) yang mengalami konflik lahan yang saat ini dikuasai PTPN II Kebun Sampali.
“Kasus lainnya adalah sengketa lahan adat di Desa Semunying Jaya yang dialami Aliansi Masyarakat Adat (AMA) Kalimantan Barat, serta perampasan lahan di Desa Meranti Timur yang merupakan anggota dari Serikat Tani Sejahtera Indonesia (SETASI). Selain itu juga terjadi Perampasan lahan di Kabupaten Morowali Utara, khususnya Kecamatan Mori Atas, manjadi contoh kasus yang mengancam kehidupan petani di 12 desa. Konflik ini terjadi setelah diterbitkannya Izin Usaha Perkebunan (IUP) perusahaan sawit PT SPN seluas 14.254,63 ha oleh Pemda Morowali Utara pada tahun 2015,” tambah dia.
Sepanjang tahun 2015, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sedikitnya telah terjadi 252 peristiwa konflik agraria, dengan luasan wilayah konflik mencapai 400.430 hektar dan melibatkan sedikitnya 108.714 kepala keluarga (KK). Menurut catatan KPA, konflik agraria paling banyak terjadi di sektor perkebunan sebanyak 127 konflik.
Selanjutnya konflik di sektor pembangunan infrastruktur menempati posisi kedua sebanyak 70 konflik, lalu di sektor kehutanan sebanyak 24 konflik, sektor pertambangan 14 konflik, lain-lain sebanyak 9 konflik dan di sektor pertanian serta sektor pesisir/kelautan sebanyak 4 konflik.
Dari sisi korban, sepanjang 2015, konflik agraria telah mengakibatkan korban tewas sebanyak 5 orang, tertembak aparat 39 orang, dianiaya/mengalami luka-luka 124 orang dan mengalami kriminalisasi/ditahan sebanyak 278 orang. Sementara dari sisi pelaku kekerasan, sepanjang 2015 didominasi oleh pihak perusahaan sebanyak 35 kasus, polisi sebanyak 21 kasus, TNI sebanyak 16 kasus, pemerintah 10 kasus, preman 8 kasus, dan warga 3 kasus.
“Banyaknya konflik lahan ini dipicu oleh kebijakan agraria yang tidak berubah dari era sebelumnya. UU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan, UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UUP3H), UU Kehutanan, dan kebijakan yang berpotensi merampas lahan serta mengkriminalisasi rakyat malah dibiarkan atau diperkuat oleh pemerintahan saat ini. Logika yang digunakan Pemerintahan Jokowi-JK sebenarnya memiliki logika yang sama dengan pemerintahan yang lalu, yakni mengejar pertumbuhan perekonomian. Untuk mengejar pertumbuhan perekonomian ini jelas menimbulkan masalah serta mengancam kehidupan rakyat,” ia menambahkan.
Namun dalam pengalamannya, pertumbuhan perekonomian tidak berbanding lurus dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Dalam logika pertumbuhan perekonomian ini adalah selalu membuka peluang sebesar-besarnya kepada negara-negara investor atau korporasi. Hal ini malah menyebabkan tingkat kemiskinan semakin meningkat di masyarakat karena upaya mengejar pertumbuhan perekonomian dengan mengundang investor tersebut hanya akan menguntungkan para pemilik modal, bukan masyarakat. Penanaman modal oleh negara-negara investor atau korporasi tentunya akan membutuhkan lahan. Hal ini menjadikan konflik lahan antara masyarakat dan korporasi semakin menajam.
“Hal ini terlihat dari data Bank Dunia yang menyebutkan tingkat ketimpangan kesejahteraan hidup orang Indonesia semakin tinggi dalam 15 tahun terakhir. Bahkan laju tingkat ketimpangan di Indonesia paling cepat di antara negara-negara di kawasan Asia Timur. Pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan saat ini pun hanya menguntungkan segelintir orang. Menurut data Bank Dunia, pertumbuhan ekonomi hanya menguntungkan 10-20 persen orang kaya di Indonesia. Konsumsi per orang kelompok 10 persen orang kaya Indonesia meningkat 6 persen per tahun selama kurun 2003-2010,” jelasnya.
Sedangkan konsumsi kelompok 40 persen orang miskin cuma tumbuh kurang 2 persen per tahun. Alhasil, jumlah orang miskin sejak tahun 2002 hingga tahun 2014 cuma berkurang 2 persen. Koefisien ini terus meningkat dari 30 poin pada 2000 menjadi 41 pada 2014, yang merupakan rekor tertinggi. Koefisien ini Indonesia sekarang sama seperti Uganda dan Pantai Gading, serta lebih buruk dari India. Bank Dunia juga mencatat kelompok 10 persen orang kaya menguasai sekitar 77 persen dari seluruh kekayaan aset dan keuangan di Indonesia. Jika dipersempit, 1 persen orang terkaya di Indonesia menghimpun separuh total aset negara Indonesia.
“Salah satu tingkat kemiskinan yang terbesar adalah di daerah pedesaan, yang sebagian besar hidup dari pertanian. Hilangnya lahan akibat perampasan karena kebutuhan lahan untuk proyek pembangunan berakibat meningkatnya kemiskinan di tingkat masyarakat. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat hingga tahun 2013 jumlah persentase penduduk miskin di pedesaan mencapai 14,42 persen, sementara persentase penduduk miskin di perkotaan sebanyak 8,52 persen. Bahkan di bulan Maret 2015, persentase penduduk miskin di pedesaan meningkat hingga mencapai 14,21 persen. Persentase penduduk miskin di pedesaan ini selalu meningkat karena hilangnya lahan,” tandas dia.
(Prw/Foto: Istimewa)