WAHANA Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat melihat bahwa proyek kereta cepat yang diklaim pemerintah sebagai solusi terciptanya transportasi masal hanya dijadikan dalih untuk merampas lahan produktif rakyat demi memfasilitasi kepentingan para pemodal.
Sebab pembangunan kota megapolitan di sepanjang jalur trase yang akan menghabiskan lahan total seluas 30.000 ha menjadi tujuan utama, dibanding penyediaan transportasi publik. Alasannya, jika pemerintah ingin menciptakan transportasi publik, mereka bisa merevitalisasi jalur kereta yang sudah ada.
Dalam pemantauan Walhi di lapangan, halaman rumah dan lahan pertanian warga di Desa Puteran, Kecamatan Cikalong Wetan, Bandung Barat yang juga lebih dikenal sebagai kawasan perkebunan teh Walini, sudah terpasang sehelai kain warna merah sebagai tanda wilayah tersebut akan tergusur oleh jalur trase proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Padahal pihak berwenang hingga kini belum melakukan sosialisasi dan penjelasan mengenai nasib warga.
Seperti diketahui, wilayah tersebut merupakan salah satu dari empat Transit Oriented Development (TOD) yang akan dikembangkan di sepanjang jalur kereta cepat Jakarta-Bandung. Kemudian dari Cikalong Wetan pula pelaksanaan pembangunan dimulai.
Sementara warga di desa-desa terdampak setempat seperti desa Cikalong, Rende, Tenjo laut, Puteran dan Mandalasari mengaku belum tahu menahu mengenai detail pelaksanaan proyek yang akan menggusur lahan dan pemukiman mereka.
Selain TOD Halim, Karawang dan Tegal Luar, TOD Walini yang lokasinya berada di Cikalong Wetan itu, berpotensi menghilangkan kawasan penting penopang daya dukung lingkungan dan lahan produktif warga setempat.
Diketahui, daerah tersebut merupakan wilayah resapan air dimana alirannya sangat menopang keberadaan pesawahan serta suplai air waduk Cirata. Selain itu, tentunya pembangunan jalur trase kereta cepat beserta pengembangan TOD Walini juga akan menyingkirkan warga setempat dari ruang produksinya.
Luas total konsesi Walini sendiri mencapai 4.401 ha. Dalam wilayah itu direncanakan dibangun TOD seluas 1.270 ha serta pengembangan Kota Raya Walini seluas 3000 ha. Artinya, pembangunan tersebut luasannya akan mencaplok seluruh konsesi Walini dan setengah wilayah kecamatan Cikalong Wetan.
Padahal ada sekitar 5000 jiwa yang masih bergantung kepada komoditas teh dan getah karet kehilangan mata pencaharian dan 1000 kk kehilangan lahan pertanian.
Namun, sejak Jokowi meresmikan groundbreaking pada 21 januari 2016 lalu, kemudian ditindaklanjuti dengan penerbitan izin pembangunan Prasarana Perkeretaapian Umum kepada PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) tanggal 18 Maret kemarin, sejauh ini publik masih mempertanyakan urgensi dan motivasi dibalik percepatan pembangunan, pemerintah juga tidak pernah membicarakan nasib warga di daerah terdampak.
Dengan panjang jalur trase mencapai 145 km, jalur tersebut akan melintasi 9 kabupaten dan kota, serta mengorbankan 83 kelurahan dan desa, diperkirakan sekitar 3.500 KK terkena dampak langsung penggusuran pemukiman dan lahan pertanian.
Ke depannya, resiko tersebut dampaknya meluas yang akan ditanggung oleh 3 Juta penduduk. Bahkan resiko bencana terpampang nyata, karena lintasan jalur merupakan wilayah pertemuan tiga sesar yaitu Cimandiri, Lembang dan Baribis yang rentan menimbulkan gerakan tanah dan longsor.
Dari berbagai regulasi yang diterbitkan serta berdasarkan pemantauan lapangan yang telah dilakukan Walhi, kami meminta pemerintah untuk mencabut regulasi terkait pembangunan kereta cepat dan pembangunan infrastruktur lainnya, yang akan menambah beban ekologi dan derita rakyat Jawa Barat.
Cukup sudah Jatigede, Tol Cipularang, Gedebage menjadi contoh buruk bagaimana pembangunan yang dilakukan tanpa perhitungan telah menimbulkan bencana, kemiskinan dan menyempitkan ruang rakyat. Sebab rakyat Jawa Barat dengan kearifan lokalnya lebih tahu apa yang mereka butuhkan.
Oleh Dadan Ramdan, Direktur Walhi Jawa Barat