Artikel ini ditulis oleh Abdul Rohman Sukardi, Pemerhati Sosial dan Kebangsaan.
Pilpres 2024, sebagai salah satu momentum pembangunan peradaban Indonesia, menyisakan pelajaran penting. Sifatnya abadi. Sebagai spion perjalanan sejarah, untuk dapat diambil dan dikembangkan sisi positifnya. Untuk kemudian dibuang sisi-sisi negatif-destruktifnya bagi pembangunan peradaban itu sendiri.
Salah satu pelajaran berharga yang dapat dipetik adalah masih berlangsungnya proses-proses pembodohan ummat Islam. Setidaknya dicerminkan oleh dua hal.
Pertama, masih maraknya politisisasi agama. Kedua, maraknya pelembagaan sikap anti lmu pengetahuan.
Indonesia merupakan negara muslim terbesar di dunia. Visi pembangunan peradabannya (Pancasila) mengelaborasi prinsip-prinsip peradaban Madinah.
Satu konstruksi kehidupan bermasayarakat, berbangsa dan bernegara yang dicontohkan Rasulullah Muhammad Saw. Maka seluruh gerak pembangunan peradaban Indonesia dengan sendirinya tercoraki oleh spirit ajaran Islam itu sendiri.
Islam merupakan sumber nilai tertinggi. Ya’lu wala yu’la alaih. Setiap gerak langkah ummat Islam dinafasi ajaran Islam. Dikendalikan oleh spirit ajarannya. Maka sebenarnya tidak diperlukan lagi cara pandang dikomistik. Antara politik Islam dan bukan Islam, di Indonesia. Selayaknya reposisi ummat Islam minoritas di negara-negara sekuler.
Diskursus relasi Islam dan negara juga telah berlangsung lama. Telah mengajarkan kearifan, betapa bahayanya membenturkan keduanya.
Politisasi agama, merupakan justifikasi perilaku kepentingan politik pribadi ataupun kelompok oleh ajaran Islam. Oleh ayat-ayat Al-Qurán. Sebagai alat untuk menggiring aspirasi ummat menyetujui atau mendukung agenda pragmatis politiknya.
Sebagai contoh pilpres 2024. Diikuti tiga paket kontestan. Semua Muslim. Didukung para pendukung Muslim. Masing-masing dikelilingi ulama Islam. Bertarung memperebutkan suara mayoritas Muslim.
Akan tetapi salah satu kontestan dikesankan sebagai representasi ummat Islam dengan justifikasi ayat-ayat Al Qurán atau hadist. Calon yang lain dikesankan tidak merepresentasikan ummat. Bahkan memilihnya dianggap menyalahi ajaran Islam.
Perilaku ini mendistorsi atau mendesakralisasi ajaran Islam, ayat-ayat Al Quráan, soal kepemimpinan. Dijatuhkan kesakralannya, atau kesuciannya hanya sebagai alat untuk justifikasi agenda politik perorangan atau kelompok. Dengan mengatasnamakan ummat. Bahkan dengan memvonis kontestan lain yang juga bagian dari ummat Islam, bukan represenrasi ummat.
Pembodohan ummat yang lainnya terjadi dalam kasus pelembagaan sikap anti ilmu pengetahuan. Ummat diajarkan untuk anti survei. Anti kaidah ilmiah yang telah teruji secara akademik dalam pengalaman panjang. Penyimpangan tentu potensi terjadi. Akan tetapi pengingkaran terhadap kaidah-kaidah ilmiah secara keseluruhan merupkan bentuk pembodohan itu sendiri.
Sejumlah pembodohan itu berdampak pada kemunduran kapasitas berpolitik ummat. Proses politik tidak justru mengasah ketrampilan untuk semakin berkualitas dalam menata mutu kehidupan bersama. Menata masa depan peradaban melalui gagasan-gagasan strategis. Namun terjebak dukung mendukung kepentingan pragmatis oleh justifikasi ajaran agama yang sudah didistorsi.
Pembodohan itu juga berdampak pelestarian sikap mental inferiorisme complexs. Perasaan rendah diri ummat Islam Indonesia di rumah besarnya sendiri. Kekalahan politik dari proses politik yang dijustifikasi ajaran agama secara membabi buta itu akan menimbulkan perasaan ketersingkiran ummat Islam Indonesia. Kekalahan sekelompok politik yang berlindung dibalik justifikasi ayat-ayat Alqur’an, akan dipahami oleh sebagian orang sebagai kelalahan ummat Islam. Padahal itu hanyalah kekalahan sekelompok orang saja.
Ummat Islam ditunggu kiprahnya oleh masyarakat muslim global, seperlima penduduk dunia. Untuk memimpin pembangunan peradaban muslim dunia. Atau setidaknya berkontribusi semakin besar.
Maka kapasitas intelektual dan ketrampilannya membangun peradaban harus ditingkatkan. Tidak terjebak pola-pola usang yang merugikan ummat.
[***]