KedaiPena.Com – Puluhan aktifis perempuan di Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, menggelar aksi damai dalam kampanye 16 hari anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Kamis (8/12).
Aksi longmarch hingga ke depan kantor Bupati Tapteng jalan DR. FL Tobing, Pandan itu dengan menggelar spanduk dan poster-poster penolakan kekerasan terhadap perempuan.
Kordinator Aksi Ramida Khatarina Sinaga dalam pernyataan sikapnya mengungkapkan, angka kekerasan terhadap perempuan masih cukup tinggi.
“Temuan penelitian Pesada di tahun 2014 serta pengalaman di lapangan dalam 2 tahun terakhir telah menunjukkan tingginya kehamilan di luar perkawinan, hubungan seks remaja, incest dan kekerasan seksual. Bahkan perkawinan di usia anak dibawah 18 tahun dan pernikahan dini cukup tinggi,†ujar Kordinator Aksi, Ramida Khatarina Sinaga.
Direktur Pesada ini mengungkapkan, faktor utama penyebab kekerasan yakni kurangnya pendidikan tubuh dan pendidikan seks. Tak hanya itu, kemiskinan dan akses terbatas kepada pengetahuan serta tingkat pendidikan yang diterima juga turut bersumbangsih.
“Keyakinan dan nilai-nilai juga berpengaruh, sehingga apabila perempuan telah haid dianggap telah wajar menikah,†kata Ramida.
Soal kekerasan dalam berpacaran, Ramida menjelaskan sering terjadi dikarenakan pemahaman yang salah. Yakni, bahwa seks dijadikan sebagai alasan pembuktian kasih sayang. “Akibatnya, kehamilan yang tidak diinginkan pun terjadi,†pungkasnya.
Sementara itu, Ramida menjelaskan aksi 16 hari kampanye Anti Kekerasan Terhadap Perempuan yang bertujuan memastikan terpenuhinya Hak-hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) ini dilaksanakan sejak 25 November hingga 10 Desember mendatang. Kampanye itu paskadigelarnya pertemuan dengan 183 perempuan lintas kabupaten di Sumatera Utara.
Dalam pertemuan itu mengemuka sejumlah persoalan yang harus diperhatikan oleh orang-orang dewasa, masyarakat, negara dan bahkan lembaga-lembaga.
Persoalan itu diantaranya, perempuan muda yang rentan menjadi korban kekerasan seksual, tingginya angka kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan kekerasan seksual, tingginya pernikahan anak dan pernikahan dini, adanya hambatan komunikasi antara perempuan muda, orang tua dan guru.
“Minimnya pusat layanan HKSR bagi perempuan muda, dan pendidikan seks sejak dini dalam keluarga masih dianggap tabu dibicarakan,†imbuh Ramida.
Karena itu, sambung Ramida, sejumlah tuntutan pun dilayangkan menjawab persoalan tersebut. Pertama, perempuan muda memperoleh pendidikan seks yang komprehensif di dalam keluarga maupun sekolah. Kedua, mendorong perempuan muda memperoleh pendidikan minimum tingkat SLTA.
Kemudian ketiga, mendorong perempuan muda untuk berekspresi, berkarya dan berorganisasi. Dan keempat agar aparat penegak hukum, menghukum semaksimal mungkin pihak pelaku kekerasa khususnya kekerasan seksual dan incest kepada perempuan.
“Hak kesehatan seksual dan reproduksi adalah Hak Azasi Perempuan, muda maupun tua, dan Hak Azasi Perempuan adalah Hak Azasi Manusia. Seluruh pihak terkait, baik keluarga, tokoh adat, tokoh agama dan pemerintah berkewajiban melakukan upaya-upaya pemenuhan HKSR,†pungkas Ramida.
Laporan: Dom