Artikel ini ditulis oleh Hendrajit, Pengkaji Geopolitik dan Wartawan Senior.
Kita sebagai bangsa sedang menjalani tiga tahap sadar diri sebagai bangsa.
Pertama, sadar atas kegelapan dan kesuraman diri.
Kedua, sadar keterbatasan diri.
Ketiga, sadar diri untuk pelepasan ego, untuk menuju jatidiri.
Saat ini, kita berada pada transisi dari sadar kegelapan dan kesuraman diri ke kesadaran penuh atas keterbatasan diri.
Hal ini ditandai oleh beberapa gejala psikologis dan sosiologis.
Rasa gampang putus asa, berkeluh kesah dan tidak berpikir konstruktif, dan mementingkan diri sendiri.
Merasa kita sebagai bangsa sedang terpuruk dan terhina.
Bukan itu saja. Kebingungan dan disorientasi massal juga terjadi di masyarakat.
Merasakan ada masalah dan merasakan kalau bangsa sedang alami krisis nasional, namun tak tahu apa akar masalahnya, apalagi nemukan solusinya.
Frase kalimat yang sering saya dengar bahkan dari kalangan intelektual dan akademisi adalah ” mau dibawa kemana bangsa ini?”
Curhatan dari elit masyarakat itu menggambarkan bangsa kita masih berkutat di tahap satu dan dua.
Kalau para elit yang sejatinya cermin ego peradaban bangsa aja kerap masih bertanya seperti itu, berarti kan bangsa masih pada taraf di alam kegelapan dan kekelaman. Segalanya serba ragu dan putus asa.
Penanda lainnya kalau kita masih di tahap sadar kegelapan dan kesuraman diri dan sadar keterbatasan diri, bisa dilihat dari dangkalnya karya karya sastra, film, musik dan teater.
Kalangan agamawan dan ulama ,materi materi dakwahnya belum menggugah umat untuk mempunyai kesadaran baru dan membebaskan diri dari belenggu pengetahuan palsu.
Di kalangan akademisi dan ilmuwan, tak ada karya-karya ilmiah yang berasal dari temuan-temuan baru melalui penelitian baik kuantitatif maupun kualitatif.
Dan terakhir. Para pemimpin dan politisi partai masih menanamkan suatu pandangan bahwa gagasan dan cara-cara lama masih baik dan layak untuk diteruskan. Dan masih dianggap benar.
Selain itu, para pemimpin dan politisi masih didorong insting mementingkan diri sendiri. Politik dipandang sebagai arena persekongkolan dan manipulasi.
Tahap sadar kegelapan dan kesuraman ke tahap sadar keterbatasan diri, ditandai mulai menggeliatnya kesadaran baru bahwa semua kenyaataan yang lama ternyata tak berguna. Bahkan menghancurkan.
Berbagai pendekatan lama yang selama ini kita anut dan terapkan, dipandang tidak tepat lagi.
Banyak masalah nasional yang membingungkan, namun tak ada jalan keluar.
Kalaupun muncul solusi, solusi yang diajukan justru menciptakan masalah baru yang lebih besar. Jadinya bukannya penyakit sembuh malah komplikasi.
Intinya, keluh kesah dan kegelisahan meluas, namun tidak ada ide baru muncul. Miskin inspirasi. Sementara ide ide lama tidak lagi bisa mengatasi masalah.
Maka tahapan ketiga inilah yang sedang berproses. Tahap sadar diri untuk pelepasan ego. Tahap ketika melalui pelepasan ego yang serba semu dan sekadar kecenderungan, kemudian identitas diri yang baru sebagai bangsa lahir.
Yang mengenali tujuan spiritualnya dan tema sentral bangsa untuk merespon tantangan zaman.
Komponen bangsa seperti ulama, budayawan/seniman, akademisi/ilmuwan serta politisi, harus membangun penyatuan kesadaran di tahap ketiga ini. Sehingga bermuara jadi arus utama pergerakan politik. Dan jadi arus utama gerakan kebudayaan.
Kata kuncinya adalah kontemplasi, kesadaran, dan kepekaan ekologis, yaitu selarasnya kesadaran diri dengan lingkungannya. Bersenyawanya diri dengan tanah dan airnya. Sadar geopolitik.
Pada tataran ini, berbagai komponen bangsa bukan saja sadar atas identitas baru dan jatidirinya, tapi juga punya imajinasi terhadap masa depannya.
Bung Karno pernah berkata, barang siapa yang punya imajinasi terhadap masa depan, maka dialah yang akan dimenangkan sejarah.
Maka, sejarah sejatinya untuk orang orang yang mencapai tahapan ketiga kesadaran ini. Kesadaran tentang pelepasan ego, sehingga menemukan sang diri sejati. Baik diri perorangan maupun diri kita sebagai bangsa.
[***]