KALAU Ibu-ibu sudah berkumpul, tak bisa dihindari pasti, obrolan sampai ke pembicaraan orang lain. Nyerempet gibah.
Seringkali ibu-ibu mencari pembenaran, “Lho kan ngomongin orang untuk mencari solusi.”
Memang membicarakan orang lain bisa jadi beti alias beda tipis dengan menunjukan kepedulian sosial.
Suatu hari di antara kumpulan kami ada seorang ibu yang beberapa hari terakhir terlihat sensitif sekali, baper alias bawa perasaan.
Tentu saja langsung jadi subyek rumpian ibu-ibu.
Semua baru saja menjadi pengamat dan peramal, apa yang kemungkinan terjadi pada dirinya, bagaimana dia harus bersikap, dan sebagainya.
Intinya, semua mengeritik apa yang dia tampilkan.
Lalu ada seorang ibu yang bilang, ‘Kita tanya saja yuk ke dia, sebetulnya ada apa sih?”
Tentu usulnya membuat yang lain ramai merespon.
“Ah takut salah ngomong, nanti dia tersinggung, biarin aja deh, takut ah, nanti dibilang mau tau aja urusan orang.”
Diskusi akhirnya lebih produktif ketimbang gibah, mengerucut pada membicarakan diri masing-masing, maunya orang melakukan apa jika diri sendiri sedang baper.
Ada yang bilang senangnya ditanya, yang lain justru lebih senang tidak ditanya.
Seorang ibu mengaku sebetulnya ingin sekali curhat dengan kami, tapi jika melihat kami sedang asyik soal lain, dia tidak mau merusak suasana dan memilih diam.
Terkejut kami mendengarnya. Sepertinya dia jenis perempuan yang tidak pernah punya masalah, oh ternyata punya juga.
Menjaga Perasaan
Kami akhirnya mencapai kesepakatan, untuk saling memperhatikan dan menjaga perasaan masing-masing. Langkahnya seperti ini, jika ada di antara kami yang baper, yang lain memerhatikan dan bertanya perasaan.
“Kamu sedang sedih ya.” Atau dengan ungkapan lain seperti sebal, kesal dan sebagainya.
Mengapa? Karena manusia senang sekali dikenali dan dipahami perasaannya. Jika perasaannya dikenali, maka ia akan merasa dihargai keberadaannya.
Hindari pertanyaan yang berbunyi, “Ada apa sih, kok kelihatannya kami sedang sedih.” Karena seringkali sulit mengungkapkan peristiwa atau hal lain yang membuat kita baper.
Kan bisa saja itu rahasia atau makin membuat sedih jika dibicarakan.
Jika pun orang yang sedang baper tidak mau menjawab pertanyaan itu, yang bertanya tidak perlu ketularan baper, karena berarti orang tersebut belum siap menjawab jujur.
Oleh Elly Risman, Pakar Parenting, Yayasan Kita dan Buah Hati. Tulisan ini juga dimuat di buletin Yatim Mandiri Edisi Agustus 2016