Artikel ini ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies).
Ketika Jokowi terpilih menjadi presiden pada 2014, berbagai macam subsidi untuk kelompok masyarakat bawah dihapus. Selain BBM, subsidi untuk 20 kereta ekonomi dihapus per 1 Januari 2015, terdiri dari 11 kereta ekonomi jarak jauh dan 9 kereta ekonomi jarak sedang.
Bahkan rencana penghapusan subsidi kereta kelas ekonomi tersebut sudah disuarakan sejak 30 September 2014, sebelum berkuasa.
Kelewatan?
Itu belum seberapa. Penghapusan subsidi untuk kelompok masyarakat bawah tidak berhenti sampai di situ saja. Pemerintahan Jokowi melanjutkan mencabut subsidi untuk 5 kereta ekonomi jarak jauh per 1 Januari 2019. Yaitu, KA Logawa, KA Brantas, KA Pasundan, KA Gaya Baru Malam Selatan, dan KA Matarmaja.
Tidak masalah. Masyarakat sudah terbiasa dengan kebijakan pemerintah yang jahat, yang tidak pro rakyat kecil, dan kebijakan yang dirasakan sewenang-wenang.
Di tengah rasa tidak adil, tiba-tiba Jokowi menyiarkan berita yang menyulut emosi. Masyarakat merasa pemerintah sudah bertindak di luar, dan semakin di luar batas.
Ini masih terkait kereta.
Rakyat merasa emosinya terbakar. Pertama, biaya proyek kereta cepat membengkak paling sedikit 1,2 miliar dolar AS atau sekitar Rp18 triliun. Membengkak Kok bisa begitu besar. Siapa yang bertanggung jawab? Tidak jelas. Bahkan sebelumnya dikatakan, pembengkakan biaya bisa capai 1,9 miliar dolar AS. Mungkin nanti masuk biaya operasional?
Kedua, bunga pinjaman untuk proyek kereta cepat sangat besar sekali, 2 persen per tahun. Atau dua puluh kali lipat dari penawaran Jepang (0,1 persen). Bahkan bunga pinjaman untuk tambahan utang akibat pembengkakan biaya lebih besar lagi: 3,4 persen atau 34 kali lipat dari penawaran Jepang.
Ketiga, untuk meningkatkan jumlah penumpang kereta cepat, menurut berita, pemerintah akan menghentikan operasional kereta api Jakarta-Bandung, KA Argo Parahyangan. Kalau benar, penghentian operasional kereta ini akan didakwa melanggar hukum, melanggar UU anti-monopoli, karena mematikan persaingan usaha.
Keempat, masih terkait KA Argo Parahyangan. Kalau operasional KA Agro Parahyangan dihentikan, sedangkan status keuangan KA Argo Parahyangan ini menghasilkan laba, maka pemerintah, khususnya menteri perhubungan dan presiden, dapat didakwa korupsi, karena merugikan keuangan negara dan tentu saja menguntungkan pihak lain yaitu China sebagai pemegang saham 40 persen Kereta Cepat Jakarta Bandung.
Kelima, ini yang membuat emosi masyarakat memuncak. Yaitu rencana pemberian subsidi dari APBN. Sedangkan, sebelumnya, pemerintah seenaknya menghapus subsidi untuk 25 kereta ekonomi. Kok enak saja sekarang mau memberi subsidi kereta cepat? Di mana logikanya?
Tentu saja masyarakat menolak pemberian subsidi (dari APBN) untuk kereta cepat. Masyarakat malah menuntut pemerintah mengembalikan lagi subsidi kereta ekonomi yang sebelumnya dicabut dengan seenaknya.
Pernyataan presiden yang terkesan sudah memutuskan untuk memberi subsidi kereta cepat pada hakekatnya sudah melanggar konstitusi.
Jokowi selaku presiden tidak bisa menentukan subsidi secara sepihak. Karena presiden harus membahas dan menentukan APBN bersama DPR.
Dengan memberi pernyataan bahwa pemerintah akan memberi subsidi kereta cepat, maka secara substansi pemerintah melanggar wewenang DPR dan melanggar konstitusi.
Pernyataan Jokowi menunjukkan bahwa kekuasaannya lebih tinggi dari DPR, dan sekaligus memberi kesan bahwa DPR hanya menjadi tukang stempel pemerintah saja?
Terakhir, pemerintah tidak boleh memberi subsidi kepada asing. Oleh karena itu, pemerintah tidak boleh memberi subsidi kepada perusahaan patungan dengan asing seperti Kereta Cepat Indonesia China.
Subsidi tarif kereta cepat secara substansi harus dilihat sebagai subsidi kepada perusahaan kereta cepat. Oleh karena itu, pemberian subsidi tarif kereta cepat merugikan keuangan negara dan menguntungkan pemegang saham asing: delik korupsi, dan melanggar konstitusi.
[***]