KedaiPena.Com – Gejolak perpecahan di internal partai Golkar pasca diumumkannya KH. Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden mendampingi Joko Widodo sudah mulai terasa.
Ungkapan Fadel Muhammad menunjukkan bahwa perpecahan di tubuh Golkar perlu menjadi perhatian serius oleh tim koalisi bakal calon presiden Jokowi-Ma’ruf.
Selain Golkar, yang perlu menjadi perhatian serius adalah adanya dinamika di internal Nadhatul Ulama (NU). Sejumlah faksi yang ada di kalangan NU mulai menggeliat, ada pro dan kontra di dalam NU tak bisa dianggap remeh karena sejumlah sinyal yang memberi tanda ketidakkompakan di kalangan nadhiyin cukup kuat.
Demikian disampaikan oleh Direktur Eksekutif Indonesia Publik Institute (IPI) Karyono Wibowo di Jakarta, ditulis Senin (27/8/2018).
Karyono memaparkan, munculnya dinamika perbedaan pandangan di tubuh Golkar dan NU bisa disebabkan dua alasan yaitu antara kekecewaan politik (political disppointment) dan permainan politik (political game).
Tak hanya itu, kata Karyono, penunjukan Ma’ruf Amin sebgai bakal calon wakil presiden menjadi cikal bakal kekecewaan politik. Selain itu, dalam iklim demokrasi transaksional seperti yang terjadi selama dua dekade ini sulit menghindari permainan politik dengan berbagai manuver.
“Untuk tujuan melakukan bargaining dan negosiasi politik untuk kepentingan pribadi maupun kelompok. Strategi politik “dua kaki” tak jarang menjadi manuver politik. Konfigurasi politik yang ada saat ini kerap berubah-ubah, cenderung tidak konsisten,†tegas Karyono.
“Arah politik tidak berada di garis lurus, sehingga sulit ditebak. Seperti yang kita saksikan saat ini, orang bijak atau orang awam cenderung menilai Golkar dan NU akan bulat mendukung pasangan Jokowi-Ma’ruf karena cara pandangnya disasarkan pada etika dan komitmen moral. Padahal faktanya tidak demikian,†tambah dia.
Perspektif orang bijak dan orang awam ternyata meleset, kata Karyono, mungkin karena kepolosannya dan idealismenya atau kurangnya informasi tentang anatomi NU dan Golkar. Jadi, singkat kata, konfigurasi politik dalam pilpres saat ini tergantung negosiasi dan komitmen politik para stakeholder, yaitu komitmen antara pihak-pihak yang berkepentingan dalam perebutan kekuasaan.
“Celakanya, gejala tersebut dianggap lazim dalam realitas politik kita. Narasi yang digunakan untuk menjustifikasi atau membenarkan praktik politik semacam itu adalah dengan mengatakan ini hanyalah sebagai sebuah dinamika politik yang biasa terjadi,†tegas Karyono.
Padahal, imbuh Karyono, perilaku politik seperti itu bisa berpotensi menimbulkan konflik permanen. Disadari atau tidak, perilaku elit politik seperti itu telah mengajarkan politik yang mengabaikan etika.
“Maraknya berbagai faksi di internal organisasi hendaknya jangan dipandang remeh karena dampaknya bisa menimbulkan segregasi dalam hubungan sosial organisasi,†imbuh dia.
Dalam kontestasi elektoral, sindir Karyono, sistem demokrasi saat ini memang sulit dihindari adanya berbagai macam manuver untuk memenangkan perhelatan kekuasaan.
Setiap kontestan cenderung menggunakan segala cara untuk memenangkan pertarungan. Ada banyak cara salah satunya adalah menggunakan strategi politik “belah bambu”, yaitu memecah basis pendukung lawan.
“Strategi ini dilakukan agar basis-basis pendukung lawan politik pecah. Dengan demikian diharapkan bisa men-‘downgrade’ elektabilitas lawan,†tutur Karyono.
Lantas, apakah strategi tersebut berhasil membelah suara NU dan Golkar? Menurutnya, dalam preferensi pemilih pada umumnya mayoritas pemilih memiliki pertimbangan tersendiri dalam memilih kandidat. Sebagian besar pemilih menentukan pilihannya secara mandiri.
“Ada sebagian pemilih yang menentukan pilihannya atas pertimbangan orang lain.
Sebagian besar pemilih dalam menentukan pilihannya dari aspek kepribadian kandidat, rekam jejak keberhasilan, dan baru aspek kemampuan, dan lain-lain,†tukas dia.
Namun demikian, ujar Karyono, Jokowi masih unggul di mayoritas segmen pemilih. Survei terbaru LSI Denny JA menunjukkan posisi elektabilitas Jokowi-Ma’ruf 52,2 persen. Sementara Prabowo-Sandiaga 29,5 persen. Yang rahasia/tidak tahu/tidak jawab 18,3 persen. Selisih 22,7 persen.
“Namun demikian, pertarungan masih belum selesai. Masih ada yang belum memutuskan 18,3 persen dan tentu saja masih ada pemilih yang masih bisa berubah pilihannya (‘swing voters’). Waktu masih cukup panjang. Dinamika politik masih bisa membuat tingkat dukungan naik turun,†beber Karyono.
“Volatilitas dukungan masih bisa terjadi. Yang paling penting adalah mewaspadai strategi belah bambu dari lawan politik jangan sampai menjadi bola liar,†tandas Karyono.
Laporan: Muhammad Hafidh