UTANG luar negeri Indonesia mencapai Rp 4.000 triliun menjadi pembicaraan yang viral di masyarakat.
Presiden Jokowi kemudian memberi tantangan untuk mempersilakan pengkritik utang tersebut untuk berdebat dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Presiden mempersilakan hal tersebut karena Sri Mulyani mempunyai data. Jadi, silakan saling mengungkapkan data, kata Presiden lagi.
Tantangan tersebut oleh Mantan Menko Perekonomian di era Gusdur, Dr. Rizal Ramli diterima dengan tangan terbuka. Ia ingin melakukan debat secara terbuka dengan dasar masyarakat bisa lebih mengetahui hal yang sebenarnya.
Masyarakat antusias untuk terjadinya debat tersebut, tanggapan dukungan terhadap debat Rizal Ramli vs Sri Mulyani bermunculan dan viral baik para netizen melalui medsos juga dari media mainstream, bahkan beberapa kelompok organisasi sudah bersedia memfasilitasi debat tersebut.
Kemudian dalam suatu kesempatan Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menyarankan agar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tak memenuhi ajakan debat mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli soal utang luar negeri.
Tentunya hal ini adalah sesuatu ungkapan yang sangat aneh. Adanya debat tersebut bukanlah keinginan Rizal Ramli, tetapi tawaran Presiden Jokowi yang mempersilakan untuk melakukan debat dengan pembantunya Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Dengan adanya pernyataan Hasto tersebut dari kaca mata pengamat secara tidak langsung, Hasto telah mengradasi “perintah” presiden kepada pembantunya.
Hal ini terjadi bersamaan dengan langkah PDI Perjuangan dan partai pendukung Jokowi yang berusaha meningkatkan elektabilitas Jokowi.
Dengan menganjurkan Sri Mulyani untuk tidak melayani debat, sama saja mengabaikan keinginan Presiden.
Perintah Jokowi justru diacuhkan, dan pada akhirnya akan menjadi bahan gunjingan, bahwa Presiden tidak memiliki kewibawaan.
Oleh Syafril Sjofyan, Pengamat Kebijakan Publik, Aktivis Pergerakan 77-78