KedaiPena.Com – Perjanjian internasional menimbulkan konsekuensi hukum dan kewajiban baru ketika diratifikasi. Karena, ketika negara menandatangani perjanjian internasional, menimbulkan ada norma baru, aturan baru yang harus menjadi hukum positif sebuah negara.
Demikian disampaikan akademisi Universitas Prof. DR Moestopo Beragama Yudha Kurniawan dalam diskusi Ngopi Senja di Pamulang, Tangerang Selatan belum lama ini.
“Logikanya begini, ada setengah kedaulatan yang diberikan forum perjanjian internasional. Dan penyerahan itu harus mempertimbangkan kepentingan nasional, falsafah dan ideologi bangsa,” tegas dia.
Ia kemudian mengingatkan kembali ketika Indonesia menandatangani perjanjian dengan IMF pada tahun 1998. Saat itu Indonesia butuh suntikan dana segar senilai 40 juta dollar AS. Dan itu harus dibayar mahal, bukan hanya karena berbentuk utang dengan bunga, tapi juga kedaulatan bangsa.
“Rp40 juta dollar AS itu kemudian dikompensasi dengan deregulasi, privatisasi dan liberalisasi. Dalam liberalisasi, kita membebaskan pasar. Kita menolkan biaya masuk dari poduk luar. Dan harus dilakukan karena kita terikat perjanjian tersebut,” jelas dia.
“Lalu privatisasi, BUMN yang tidak punya duit juga dibebaskan ke pasar. Deregulasi pun demikian, kita dipaksa memakai pola kurs mata uang mengambang. Alhasil, harga-harga tidak menentu, suka-suka pasar,” sambungnya.
Seharusnya, dalam mengagas perjanjian internasional, Indonesia harus kembali ke falsafah negara, yakni Pancasila. Ini berisi gagasan beliau soal gagasan kebangsaan, ketuhanan, dan lain-lain. Bung Karno pernah bilang dalam politik internasional, bangsa-bangsa di dunia sejajar. Namun di ekonomi juga harusnya demikian.
“Sialnya, saat ini muncul neokolonialisme dan neoimperialisme dalam bentuk baru, dalam bentuk perjanjian internasional. Penjajahan ekonomi dalam bentuk penguasaan sumber daya. Dan kita tidak merasa dijajah, karena semua di-rambers ke perjanjian internasional. Dan kalau kita pahami lagi, ini merugikan Indonesia,” Yudha menambahkan.
(Prw)