KedaiPena.com – Setelah 49 tahun peristiwa Malari 1974 dan 23 tahun INDEMO, seharusnya demokrasi sudah membudaya dalam kehidupan di Indonesia dan menjadi cara untuk membatasi kekuasaan.
Tokoh Nasional Hariman Siregar mempertanyakan untuk apa perayaan tiap tanggal 15 Januari. Karena seharusnya setelah 23 tahun INDEMO, seharusnya demokrasi itu sudah membudaya dalam praktik dunia politik.
“Demokrasi itu bukan hanya sesuatu yang berhubungan dengan perpolitikan. Tapi dengan bentuk pemerintahan. Ada batasan-batasan saat bicara demokrasi,” kata Hariman Peringatan 49 tahun Peristiwa Malari 1974 dan 23 tahun INDEMO dengan tema pertahankan demokrasi, ditulis Selasa (17/1/2023).
Ia menceritakan malam sebelum acara peringatan ini, pihak pengelola TIM menghubungi dan menginformasikan jika acara harus dipindahkan.
“Saya tanya kenapa? Karena ada presiden mau datang, harus steril. Saya jawab, boleh saja. Tawaran mereka, dipindah atau ditunda. Saya bilang berani tidak mereka bikin surat resmi pada kita. Ternyata mereka berani. Kalau sudah begitu, kita mundur, karena kita paham,” tuturnya.
Tapi ia mengakui tetap saja mempertanyakan dalam hati, acara ini sudah mendapatkan izin dari Polisi, tiba-tiba ada presiden mau datang, acara disuruh mundur.
“Masuk akal tidak. Dia mau datang, kita sudah siap-siap. Harusnya dia periksa dulu, dimana acaranya, cek lain-lainnya. Lain tempat, lain jam-nya, kita jam 11 mereka jam 7 malam. Tapi ya sudah lah. Itu lah pengaruh dari eksesif kekuasaan itu,” tuturnya lagi.
Karena itu, lanjutnya, ia memilih untuk menolak lupa untuk pertahankan demokrasi.
“Karena akhir-akhir ini ada isu-isu demokrasi, seperti tiba-tiba ada orang yang mau tiga periode, tiba-tiba ada orang yang mau tunda pemilu, ada yang mau perpanjang tanpa alasan yang kuat. Kalau bilangnya tidak punya duit, kenapa bikin IKN. Kalau tiga periode, bagaimana seluruh perjuangan sejak tahun 1945 hingga 1998, karena tulisannya dalam UUD adalah dapat dipilih kembali, dimana saat itu bahasa Indonesia belum lengkap, itu artinya dua kali. Itu Bung Hatta sendiri yang bilang,” kata Hariman.
Ia menyebutkan itu lah alasan mengapa saat reformasi, diminta untuk mengganti kalimat tersebut menjadi dua kali.
“Karena kekuasaan itu harus dibatasi. Kalau tidak, power tend corrupt, absolute power. Saya sempat bicara dengan Luhut, dia bilang tidak apa-apa itu. Saya juga dihubungi oleh pejabat negara yang ditugaskan untuk bertanya pada para tokoh, bertanya perlukah tiga periode, saya jawab jangan, dia katanya dukung. Tapi sampai sekarang, Jokowi masih mau terus. Walaupun kemarin ibu Mega sudah bilang, cukup dua kali,” ucapnya.
Hariman menyebutkan hal tersebut menjadi masalah utama di antara berbagai masalah lainnya yang dihadapi Indonesia.
“Ada subsidi harga bensin, minyak goreng, omnibus law yang putusan MK seperti apa, malah keluar Perppu. Ini menunjukkan adanya something wrong dengan pengerjaan demokrasi di negara ini,” ucapnya lagi.
Ia menegaskan bahwa demokrasi itu bukan hanya suatu yang prosedural, tapi juga substantif yang harus masuk dalam hubungan berpolitik.
“Ada hal-hal yang kita tidak bisa campuri lagi. Misalnya Hak Asazi Manusia. Seperti bayi, lahir. Dia punya Hak Azazi. Tidak bisa, kita bikin bayi hanya untuk diambil sum-sum tulang belakangnya. Itu tidak bisa. Sederhana, tapi makin hari makin ditinggalkan,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa