Arsitektur hukum positif teknologi informasi dan komunikasi di Indonesia tidak memberikan jaminan perlindungan hak perempuan. Meskipun kebijakan pembatasan akses internet seperti pemblokiran dan sensor kerap kali didasari pada moralitas dan melindungi perempuan atas tindakan kekerasan, aturan tersebut justru menjadi sumber kekerasan dan diskriminasi terhadap hak perempuan di ranah online (daring).
Salah satunya Undang-Undang Pornografi No. 44 tahun 2008 yang digadang sebagai salah satu bentuk upaya melindungi hak perempuan dan anak. Namun kenyataannya, UU Pornografi menjadi salah satu regulasi diskriminatif yang dengan terang mengkriminalisasi perempuan. Dalam Pasal 34 memuat ancaman pidana bagi pihak yang menjadi objek atau model dengan muatan pornografi. Padahal dari sejumlah kasus beredarnya video hubungan seksual, dilakukan tanpa konsen (consent) untuk disebarkan ke publik dan perempuan telah diancam terlebih dahulu. Pasal ini justru mengakomodasi perubahan status perempuan yang semula menjadi korban, justru dianggap sebagai pelaku pornografi. Relasi kuasa yang tidak seimbang antara diantara pelaku dan korban tidak diproyeksikan oleh para pembuat kebijakan sehingga pada akhirnya perempuan mengalami diskriminasi.
Selain kriminalisasi korban, kebijakan sensor dan pemblokiran dengan tujuan memberantas pornografi justru menghambat hak atas informasi bagi perempuan. Alat organ reproduksi perempuan seperti ‘vagina’ dan ‘payudara’ (breast) acapkali digunakan sebagai kata kunci untuk memblokir akses pornografi. Dalam Laporan HAM ELSAM tahun 2017, dari 43 situs yang pemblokirannya diindikasi mengancam pelanggaran hak kebebasan ekspresi, 7 diantaranya adalah berisikan tentang hak perempuan yakni mengenai kesehatan reproduksi perempuan dan 1 situs terkait isu feminisme.[1] Ketentuan ini justru menutup akses atas informasi mengenai kesehatan reproduksi seperti siklus haid, penanggulangan kanker payudara dan serviks, atau menyusui untuk ibu hamil. Hal serupa terjadi dalam konteks siaran televisi, dimana gambar untuk menjelaskan gejala kanker serviks dan payudara justru menyensor organ reproduksi sebagai sumber informasi. Ketentuan dan kebijakan ini jelas melanggar konstitusi Indonesia, Pasal 28J Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 70 UU No. 1999 tentang HAM yang menjamin hak atas informasi.
Tidak hanya hukum yang diskriminatif, kekosongan hukum atas perlindungan perempuan juga nampak pada tidak diaturnya kekerasan daring sebagai tindak kejahatan. Berdasarkan data dari World Wide Web Foundation, melaui penelitiannya mengenai Hak Daring Perempuan (Women’s Rights Online), 6 dari 10 perempuan dengan rentang usia 18-24 mengalami kekerasan ketika beraktivitas di internet. Kekerasan tersebut berbentuk perundungan (bullying), teror dari pihak yang tidak diinginkan, trolling, serta kekerasan seksual, ancaman perkosaan hingga pembunuhan. Di Jakarta sendiri, dari 29% perempuan pernah mengalami kekerasan dan ancaman melalui telepon genggam dan internet dalam 2 tahun terakhir.[2] Hal ini menunjukkan bahwa pornografi berbasis online pada dasarnya merupakan instrumentasi yang didominasi dorongan imajinasi kenikmatan seksual laki-laki ketimbang perempuan. Bahkan seringkali menggambarkan serangan terhadap martabat dan kebebasan perempuan.
Situasi di atas menunjukkan bahwa kekerasan secara online dan kekerasan terkait teknologi (violence online and tech-related violence) merupakan bagian dari rangkaian kekerasan berbasis gender. Kekerasan berbasis gender di ranah ini tidak terlepas dari ruang patriarki (patriarchal spaces) yang saat ini masih mengendalikan internet. Padahal ruang ekspresi murni tanpa identifikasi kelamin sebenernya dimungkinkan dalam internet, mengingat konsep cyborg yang diuraikan Donna Haraway[3] menunjukan bahwa teknologi membuat kabur batasan tubuh organik. Sehingga memungkinkan perempuan membangun narasi ide kesetaraan dan menyuarakan haknya.
Oleh sebab itu, literasi perempuan Indonesia terhadap perempuan internet menjadi langkah strategis untuk mencegah perempuan menjadi korban kekerasan berbasis internet. Hal ini jelas memerlukan dukungan regulasi yang membangun ekosistem internet yang memberikan perlindungan pada perempuan. Pada titik ini, negar wajib memastikan adanya tanggung jawab korporasi. Korporasi sebagai tulang punggung internet yang menyediakan infrastruktur dan platform/aplikasi harus berperan aktif memberikan literasi digital kepada penggunanya untuk melindungi hak perempuan. Hal tersebut merupakan bentuk tanggung jawab korporasi dalam penghormatan hak asasi manusia, khususnya kepada perempuan.
Dengan pertimbangan-pertimbangan sebagaimana dijelaskan di atas, ELSAM merekomendasikan sejumlah hal berikut ini:
1)Â Â Â Â Bersama dengan Pemerintah dan DPR untuk merevisi UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi, untuk memberikan ruang lingkup terkait definisi pornografi yang tidak diskriminatif dan melindungi hak perempuan sehingga mengurangi kasus kriminalisasi korban yang kebanyakan perempuan
2)Â Â Â Meminta Kementerian Komunikasi dan Informatika memperbaiki tata kelola konten internet, termasuk ketentuan mengenai pemblokiran yang mengedepankan pendekatan gender sehingga dalam kebijakan pembatasan hak tidak mereduksi hak informasi perempuan.
3)Â Â Â DPR harus memastikan adanya perlindungan perempuan dalam proses revisi UU Penyiaran. Serta mendorong Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menyusun pedoman dan standar bagi kegiatan penyelenggaraan penyiaran TV dan radio Indonesia (P3SPS) yang berprespektif gender. Sehingga seluruh aktivitas penyiaran tetap memberikan jaminan perlindungan perempuan dan kelompok rentan lainnya.
4)Â Â Â DPR dan Pemerintah segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Kekereasan Seksual dengan memasukan ketentuan kekerasan daring (online) menjadi salah satu bentuk kejahatan yang diakui dan ditindaklanjuti kepada penegak hukum
5)Â Â Â Mendorong pemerintah dan DPR serta korporasi sebagai multi pengambil kebijakan yang berperan aktif dalam membuat regulasi mengenai aktivitas siber (daring) menjadi ekosistem yang ramah dan melindungi dan memberdayakan perempuan.
Oleh Lintang Setianti, Peneliti ELSAM