Artikel ini ditulis oleh Peneliti Klimatologi pada Pusat Riset Iklim dan Atmosfer, BRIN, Erma Yulihastin
Sosok Raden Ajeng Kartini yang mencitrakan perempuan ningrat Jawa berpendidikan (well-educated) telah menginspirasi begitu banyak kaum perempuan di Indonesia untuk mendapatkan pendidikan terbaik dan berkiprah membangun negeri ini, bersama-sama dengan kaum lelaki. Hal ini tercermin dari peningkatan dari waktu ke waktu jumlah perempuan yang berpendidikan tinggi hingga level sarjana di Indonesia.
Namun demikian, perempuan yang mengambil jurusan atau program studi di bidang Sains, Teknologi, Teknik dan matematika (STEM) masih minim yaitu sekitar 18 persen di Indonesia (Bisnis Indonesia, 19 April 2022). Begitupun dengan negara -negara lain di dunia. Negara maju sekalipun menghadapi isu yang sama mengenai minimnya jumlah perempuan yang menempuh pendidikan di bidang STEM yang memang tergolong ke dalam ilmu yang berat dan sulit dikuasai (hard science) karena memerlukan pondasi matematika dan fisika yang sarat kerumitan.
Dari 18 persen perempuan yang menempuh studi sarjana di bidang STEM tersebut, lebih sedikit lagi yang berkiprah atau bekerja di bidang yang sama. Mungkin tidak lebih dari sepertiga dari 18 persen tersebut, perempuan yang bekerja di STEM. Jika ditilik lebih lanjut, dari 6 persen perempuan yang bekerja di STEM, umumnya berada pada peran yang marjinal atau terpinggirkan karena setidaknya beberapa faktor berikut ini.
Faktor Penyebab
Pertama, kurangnya dukungan dari lingkungan. Lingkungan yang dimaksud di sini tentunya yang terdekat adalah lingkungan keluarga. Pada faktor ini, hampir tidak mungkin bagi seorang perempuan bisa melanjutkan bekerja di STEM jika tidak didukung oleh orang tua atau suami, meskipun perempuan tersebut sangat berbakat dan memiliki kapasitas intelektual yang unggul. Oleh karena itu, solusi untuk mengatasi minimnya dukungan bisa dengan cara melakukan edukasi publik yang terus-menerus dalam rangka memberikan kesadaran bahwa problematika besar di dunia ini harus ditanggulangi oleh laki-laki dan perempuan secara bersama-sama sebagai mitra kerja atau kolega.
Kedua, minimnya role model perempuan yang berhasil di bidang STEM. Jumlah perempuan yang minoritas di satu sisi juga melemahkan motivasi perempuan yang ingin membangun kariernya. Apalagi ketika jumlah perempuan berpengaruh di bidang yang digelutinya atau di tempatnya bekerja hampir tidak ada. Role model mestinya bisa dicari dari negara-negara lain. Ilmuwan wanita yang unggul di bidangnya misalnya, sebenarnya sudah banyak. Namun, literasi perempuan yang sangat kurang dalam hal kariernya tersebut telah membuat perempuan tersebut kekurangan role model.
Ketiga, stereotipe yang buruk dari masyarakat khususnya yang masih sangat tradisional dan konvensional. Mereka memandang perempuan yang berkiprah di STEM sebagai perilaku menyalahi kodrat kewanitaan. Hal ini semakin diperburuk dengan pemahaman keagamaan puritan dan eksklusif yang menganggap profesi pekerjaan yang sesuai dengan kodrat perempuan hanyalah di seputar pendidikan (guru) dan kesehatan (perawat dan dokter kandungan) saja. Bidang di luar itu dianggap tidak sesuai atau menyalahi kodrat wanita. Padahal perempuan yang bekerja di STEM tetep bisa hamil, melahirkan, mengasuh dan mendidik anak-anaknya.
Jika ketiga faktor sebelumnya berkaitan dengan faktor daya dukung eksternal, maka faktor keempat berkaitan dengan hambatan psikologis yang bersifat internal dalam diri perempuan. Hambatan psikologis tersebut berupa tidak percaya diri, tidak memiliki motivasi dan ambisi dalam karier, kurang cakap secara kapasitas intelektual dan komunikasi (under-capacity), dan sejenisnya. Berbagai hambatan psikologis ini tak jarang diperparah dengan pergulatan batin seorang perempuan ketika ia hamil, melahirkan, dan harus menjalankan perannya sebagai ibu dengan anak-anak yang masih bayi atau balita.
Periset Perempuan di STEM
Hal yang sama juga terjadi dan dialami oleh para periset perempuan di STEM. Umumnya, karena minimnya support sytem dari lingkungan keluarga, tempat kerja, dan hambatan psikologis yang dialami, jumlah para periset perempuan yang berpengaruh di bidang STEM masih sangat sedikit di Indonesia. Pengaruh ini dapat dilihat dari indikator performa kerja periset perempuan yang diukur dari keikutsertaan dalam seminar internasional, mendapatkan dana (award) penelitian dari luar instansi atau luar negeri, jumlah publikasi internasional, paten, atau produk inovasi lainnya.
Oleh karena itu, peningkatan kuantitas dan kualitas periset perempuan di STEM harus dipikirkan secara sistemik dan mendapatkan dukungan penuh oleh pemerintah khususnya Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalu berbagai skema yang riil untuk memotivasi perempuan agar tidak sekadar jargon semata. Sebab isu women in science juga mendapatkan perhatian khusus di dunia internasional.
Berbagai lembaga riset internasional memberikan berbagai skema khusus bagi ilmuwan wanita agar kapasitasnya meningkat. Cara-cara yang ditempuh misalnya dengan pengadaan mentorship khusus perempuan dalam hal keahlian teknis, bahasa, dan lain-lain. Berbagai insentif dan beasiswa pun diberikan dalam rangka mendobrak fenomena minimnya keterwakilan wanita dalam sains (under-represented in science).
Di beberapa lembaga riset bahkan juga memiliki skema khusus untuk memberikan dukungan penuh (support system) bagi para peneliti yang menjadi ibu dengan anak-anak balita. Dukungan tersebut bahkan dengan cara menampilkan sosok-sosok ilmuwan wanitanya di halaman paling muka website lembaga tersebut dengan menu utama seperti Meet the Women Scientist NASA, Women in Science NASA, Women in STEM NASA, Beasiswa khusus ilmuwan wanita British Council, dan lain-lain.