Artikel ini ditulis oleh Achmad Nur Hidayat MPP, Pakar Kebijakan Publik dan Ekonom UPN Veteran Jakarta.
Setahun lebih telah berlalu sejak pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja, namun suara penolakan dari kalangan buruh dan pekerja terus bergema, terutama pada peringatan Hari Buruh 2024.
Apa sebenarnya yang membuat mereka masih bertahan pada posisi penolakan ini?
Pertama dan terutama, di tengah kondisi ekonomi yang tertekan dengan kenaikan harga sembako dan biaya hidup, buruh merasa bahwa perlindungan yang mereka peroleh semakin mengkhawatirkan. UU ini, yang dimaksudkan untuk memudahkan investasi dan efisiensi industri, tampaknya memperburuk kondisi pekerja dengan menetapkan upah minimum yang tidak memadai, terutama di tengah inflasi yang tinggi.
Salah satu isu utama yang diangkat adalah konsep ‘upah murah’ yang diperkenalkan oleh UU ini. UU Cipta Kerja menghapuskan mekanisme penetapan upah yang melibatkan unsur tripartit, yang biasanya lebih menguntungkan pekerja dengan mempertimbangkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, aturan baru ini memungkinkan penetapan upah yang tidak memenuhi standar kelayakan hidup, membuat pekerja merasa tidak ada peningkatan nyata dalam kesejahteraan mereka.
Outsourcing menjadi sorotan karena tidak lagi dibatasi jenis pekerjaannya, yang bisa berarti pekerjaan apapun dapat di-outsourcing. Ini menciptakan ketidakpastian kerja yang besar bagi buruh, yang mungkin harus menghadapi kontrak yang berulang-ulang tanpa harapan menjadi pegawai tetap—sebuah kondisi yang dijelaskan oleh Said Iqbal, Presiden Partai Buruh, sebagai negara yang “memposisikan diri sebagai agen outsourcing.”
PHK yang dipermudah dan pesangon yang dikurangi menjadi hanya 0,5 kali dari sebelumnya adalah dua perubahan yang sangat mengkhawatirkan. Praktik ‘easy hiring easy firing’ ini membuat pekerja merasa tidak ada keamanan dan stabilitas kerja, sementara pengurangan pesangon memperlemah jaring pengaman finansial mereka saat menghadapi pemutusan hubungan kerja.
Peraturan terkait tenaga kerja asing juga menjadi titik tekan. Kini, TKA dapat bekerja terlebih dahulu sebelum urusan administrasi mereka diselesaikan, yang membuka pintu bagi praktik tenaga kerja murah yang dapat menggusur pekerja lokal.
Sorotan terakhir adalah terhadap fleksibilitas jam kerja dan pengaturan cuti, yang memperparah ketidakpastian upah—terutama bagi buruh perempuan yang mengambil cuti menstruasi atau melahirkan—dan dihapusnya beberapa sanksi pidana yang sebelumnya melindungi hak-hak buruh.
Kombinasi dari semua faktor ini menunjukkan sebuah gambaran dimana buruh dan pekerja merasa sebagai kelas yang paling menderita di bawah undang-undang baru ini, terutama di saat ekonomi sedang tidak stabil.
Mereka meminta perlindungan sosial yang lebih komprehensif dan up-to-date untuk memastikan bahwa kesejahteraan dan hak-hak mereka terlindungi, tidak hanya di atas kertas tapi juga dalam praktik sehari-hari.
[***]