Artikel ini ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies).
GoTo (Gojek Tokopedia) menawarkan saham perdana kepada publik (IPO), atau go public, awal April 2022 dengan harga Rp338 per saham. Jumlah saham yang ditawarkan kepada publik sebanyak 40.615.056.000 saham. GoTo meraup dana publik sebanyak Rp13,73 triliun.
GoTo seharusnya tidak layak go public karena kinerja perusahaan sangat buruk. Sejak operasional 12 tahun yang lalu, kinerja Gojek maupun Tokopedia selalu rugi, dengan akumulasi rugi mencapai Rp99,3 triliun per akhir September 2022.
Rugi tahun 2021 mencapai Rp22,5 triliun, dan rugi 9 bulan pertama 2022 mencapai Rp20,7 triliun.
Dengan kinerja keuangan yang sangat buruk ini, GoTo malah berhasil mengantongi izin go public dari OJK, dan meraup dana publik Rp13,73 triliun.
Harga saham GoTo kemudian terus anjlok, bahkan menyentuh batas bawah (ARB) 10 kali berturut-turut hingga Jumat lalu (9/12/2022), ditutup Rp93 per saham, atau turun 72,5 persen dibandingkan harga go public Rp338 per saham.
Masyarakat rugi Rp9,95 triliun, dari Rp13,73 triliun menjadi tinggal Rp3,78 triliun (harga pasar). Investasi Telkomsel di GoTo rugi Rp4,2 triliun, dari jumlah investasi Rp6,4 triliun.
Tekanan jual saham GoTo masih kuat, dengan penawaran harga berapapun. Daripada nilai saham tambah tidak ada harganya.
Jumat lalu (9/12/2022) antrian jual mencapai 9,16 miliar saham, atau 91,6 juta lot. Jumlah antrian jual ini sangat besar, mencapai 36 kali dari jumlah saham yang berhasil ditransaksikan pada hari itu, sebanyak 254,4 juta saham.
Dengan jumlah antrian jual yang begitu besar, (hampir) mustahil harga saham GoTo bisa ‘didongkrak’ naik. Karena harus menghabiskan antrian jual dulu, senilai sekitar Rp900 miliar. Siapa yang mau mengorbankan uang sebesar itu, yang mungkin tidak akan dapat kembali lagi. Selain itu, jumlah antrian jual bisa bertambah lagi, mengingat ada 40,6 miliar saham di tangan masyarakat dari go public.
Kemudian, investor pendiri juga tidak mau menambah jumlah saham yang dimilikinya. Sebaliknya, mereka malah mau menjualnya: mau exit. Ini tujuan utama go public GoTo: Exit.
Selain itu, kalau jumlah saham masyarakat sudah habis dibeli kembali oleh GoTo atau proxy-nya, maka saham GoTo tidak akan likuid lagi. Harga naik juga percuma. Karena transaksi dari kantong kiri ke kantong kanan. Atau cross selling.
Maka itu, OJK harus bertanggung jawab atas pemberian izin go public GoTo yang sebetulnya tidak layak masuk bursa.
Jokowi sebaiknya panggil OJK untuk minta klarifikasi terkait perizinan go public GoTo, sebagai tanda peduli atas menguapnya investasi publik dan Telkomsel di GoTo.
Kalau Jokowi diam saja, dikhawatirkan masyarakat bisa mempunyai persepsi liar, misalnya menganggap Jokowi mengetahui dan ikut merestui go public GoTo, serta investasi Telkomsel di GoTo.
[***]