Artikel ini ditulis oleh Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi.
Harga Bahan Bakar Minyak dan gas/elpiji (BBMG) dan listrik melalui Tarif Dasar Listrik (TDL) diatur secara ketat oleh pemerintah (highly regulated). Selain BBM, gas/elpiji dan listrik merupakan kebutuhan pokok yang menguasai hajat hidup orang banyak dengan permintaan yang tinggi. Komoditas ini harga keekonomiannya juga diatur oleh pasar internasional, disaat Indonesia telah menjadi negara pengimpor bersih (net importir) sejak tahun 2002/2003, disatu sisi. Tentu, pertanyaan mengapa barang yang bersubsidi juga harus terus menerus diimpor dan tidak menggunakan potensi energi yang beragam, seperti tenaga kelistrikan, panas bumi dan lain-lain tentu adalah soal lain lagi.
Disisi yang lain, kebutuhan hidup yang menguasai hajat hidup orang banyak saja dan tidak “merusak” kesehatan secara langsung, tapi selalu dipermasalahkan atau dibatasi kenaikan harganya oleh pemerintah. Sedangkan, ada banyak komoditas yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak serta berasal dari tanaman perkebunan atau Sumber Daya Alam (SDA) kemudian diolah dan diperjualbelikan secara bebas justru merugikan kesehatan konsumen. Apalagi lebih tidak masuk akal jika masyarakat berada dalam sektor industri berbasis SDA ini tidak memperoleh kesejahteraannya.
Komoditas yang berasal dari olahan SDA itu diantaranya, yaitu, rokok, minuman beralkohol bahkan narkotika dan zat adiktif lainnya (narkotika). Lalu, bagaimana halnya dengan kebutuhan tidak pokok atau yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak namun justru “merusak” secara langsung tidak diatur secara ketat juga oleh pemerintah? Tidak perlukah pemerintah turut mengatur peredarannya sebagaimana BBM, elpiji dan TDL yangmana harga keekonomiannya juga ditentukan oleh pasar internasional. Bahkan, para pengusaha atau importir juga begitu mudah mendatangkan bahan bakunya, seperti tembakau dan bahan atau zat lainnya. Malahan, para pengusaha rokok bisa sesuka hati (at will) memproduksi dan menetapkan harga jualnya ke konsumen secara bebas.

Inilah aneh atau absurdnya sebuah kebijakan yang secara berhadap-hadapan bertolak belakang manfaatnya bagi kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Seperti produk rokok, misalnya yang jelas secara kesehatan diperingatkan oleh pemerintah cq. Kementerian Kesehatan dan tertera dalam setiap bungkusnya bermacam-macam harganya. Ada jenis rokok yang bahan bakunya dari impor dan berharga lebih mahal antara Rp20.000-Rp30.000 serta yang diproduksi di dalam negeri berkisar Rp5.000-10.000. Dengan harga ini, maka siapapun atau kelompok usia berapapun dapat mengkonsumsi rokok dengan mudah dan bebas membelinya di tingkat pengecer. Tidakkah ini berbahaya bagi kekuatan, ketahanan dan keamanan nasional Bapak Presiden Prabowo Subianto?
Indonesia, berdasarkan laporan Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA) merupakan negara dengan jumlah perokok terbanyak di Asean yaitu lebih dari 70 juta orang. Bahkan, Indonesia menurut data Ikatan Dokter Indonesia (IDI) merupakan negara dengan jumlah perokok aktif terbesar namun menduduki peringkat 12 harga rokok termurah di dunia. Untuk tingkat negara ASEAN, harga rokok di Indonesia hanya kalah murah dari negara Vietnam dan Filipina. Sementara itu, harga rokok di negara-negara tetangga lainnya seperti Singapura dan Thailand sudah sangat tinggi, yaitu mencapai US$10 atau sekitar Rp163.500 (kurs US$1=Rp16.350) per bungkus.
Seharusnyalah, pemerintah menetapkan pengaturan harga yang ketat juga atas dampak yang ditimbulkannya atas kesehatan generasi muda masa depan bangsa. Semakin murah harga rokok, maka semakin mudah masyarakat atau kelompok usia muda bahkan anak-anak berpeluang mengkonsumsinya. Jelas ini kontraproduktif dengan visi-misi Asta Cita Presiden Prabowo Subianto. Artinya, kebijakan harga yang ketat tidak hanya menjadi beban BUMN semata tetapi lebih diperluas dengan komoditas yang tidak bernilai tambah (added value) secara ekonomi bagi kepentingan keuangan negara. Setidaknya, harga rokok ditetapkan oleh pemerintah Rp50.000-100.000 sehingga dapat menunjang program prioritas Makan Bergizi Gratis (MBG).
Ayo Ibu Menteri Keuangan dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan tetapkan kebijakan ketat untuk rokok yang membahayakan kekuatan dan ketahanan anak-anak serta rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia! Melalui rakyat dan pemuda yang sehat dan kuatlah bangsa dan negara bisa meraih prestasi gemilang dan generasi Emas 2045. Jika pemerintah abai dalam mengatur kebijakan penetapan harga rokok yang tinggi, maka potensi kerusakan dan kriminalitas yang mengarah kepada instabilitas sosial akan terus meningkat. Apalagi menurut Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 jumlah perokok didominasi sebesar 56,5 persen oleh kelompok berusia 15-19 tahun.
[***]