KedaiPena.com – Naiknya harga gula pasir ke level tertinggi mencapai Rp17 ribu per kilogram melampaui Harga Eceran Tetap (HET) Rp14.500 per kilogram dan Acuan Harga Pembelian (AHP) Rp13.500 per kilogram secara nasional dinyatakan sebagai sesuatu yang tidak wajar.
Ketua DPP Asosiasi Pengusaha Gula dan Tepung Terigu (APEGTI) Provinsi Riau, Nur Jafar Marpaung menanggapi harga gula saat ini sebagai hal yang tidak wajar.
Ia menjelaskan ada beberapa faktor teknis yang menjadi penyebab harga gula pasir saat ini tembus Rp17 ribu per kilogram.
“Pertama, permintaan akan gula tinggi dan tidak diimbangi dengan produksi gula dalam negeri, sehingga belum mampu mencukupi permintaan dalam negeri, membuat keseimbangan pasokan dan permintaan tidak seimbang, yang berujung pada ekspektasi harga yang naik,” kata Nur Jafar, Sabtu (18/11/2023).
Kedua, lanjut, gula internasional juga tinggi, karena terjadi gejolak harga global akibat melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (AS).
“Sehingga Indonesia yang masih ketergantungan gula impor mau tak mau harus mengikuti harga patokan gula dunia,” ucapnya.
Ketiga, importir jadi biang kerok, karena lambatnya mengeksekusi impor gula, yang berakibat cadangan gula nasional menurun sehingga mempengaruhi pasokan dan harga gula naik.
“Defisit Gula Nasional adalah ±3,5 juta ton pertahun dan untuk menutupinya, pemerintah melakukan impor gula,” ucapnya lagi.
Sementara, untuk faktor non teknis yang mengakibatkan harga gula naik adalah pelaku pasar, dimana ada indikasi rantai distribusi dalam industri gula masih belum efisien atau terindikasi ada distorsi (penyimpangan) pasar.
Nur Jafar menjelaskan struktur pasar dalam rantai distribusi industri gula, membentuk pasar oligopsoni dengan distributor utama (D1) sebagai pembeli dari pasar lelang atau pasar impor. Sementara di level sub distributor atau pedagang besar terbentuk pasar oligopoli, dimana penawaran gula dikuasai oleh beberapa perusahaan.
“Umumnya jumlah perusahaan lebih dari dua
tetapi kurang dari sepuluh dan memiliki struktur pasarnya sendiri. Kondisi pasar ini menempatkan beberapa pelaku usaha memiliki posisi tawar yang lebih kuat di pasar,” kata Nur Jafar lebih lanjut.
Para pelaku usaha yang terlibat didalamnya akan melakukan persaingan yang tidak sehat antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan pemasaran gula yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha dan merugikan kepentingan umum.
“Pemerintah seharusnya melakukan pengawasan yang ketat di pasar melalui SATGAS PANGAN sesuai amanah UU.No.5. Anti Monopoli Tahun 1999 dan KEPPRES No.57 Tahun 2004 Tentang Penetapan Gula Sebagai Barang Pengawasan. Tindak tegas pelaku usaha yang nakal. Tutup perusahaannya dan cabut izin usahanya atau masukkan kedalam penjara,” ujarnya.
Pemerintah, menurutnya, harus peka dan cepat merespon kondisi ini. Harus ada kebijakan untuk menambah produksi gula pasir dengan membangun pabrik gula dan perkebunan tebu untuk menggenjot produksi tebu dalam negeri serta merevitalisasi pabrik-pabrik gula milik BUMN yang masih aktif dengan memodernisasi mesin-mesin pabrik. Supaya ketahanan pangan untuk kebutuhan gula pasir terjaga dengan mandiri.
“Hal tersebut untuk menghindarkan kita dari dampak kebijakan proteksi yang diambil negara eksportir gula seperti India.Selama ini pasokan gula nasional bergantung pada hasil lelang gula dipabrik dan kuota impor,” ujarnya lagi.
Pemerintah, lanjutnya harus dapat membaca keadaan dan memperioritaskan pembangunan infrastruktur mana yang lebih diutamakan. Misalnya lebih potensial mana, membangun jalan Tol terus menerus atau membangun pabrik gula.
“Memang kedua-duanya penting. Tetapi gula merupakan bahan pokok yang tidak boleh
dikesampingkan. Karena kebutuhan gula itu menyangkut kebutuhan pokok, yang sangat dibutuhkan semua masyarakat baik dari kalangan ekonomi menengah kebawah dan menengah ke atas,” kata Nur Jafar dengan nada tegas.
Solusi lain yang bisa dilakukan pemerintah untuk menurunkan harga gula ke level Rp12.500 per kilogram bisa dilakukan jika kebijakan jaminan rendemen (kadar gula dalam tebu) sebesar 8,5 persen bisa diterapkan sepenuhnya. Ia menekankan bahwa kebijakan jaminan rendemen 8,5 persen dan stabilisasi harga adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan.
“Dengan kebijakan tersebut, petani diberi jaminan rendemen 8,5 persen meski dalam perhitungan normal, rendemen masih di bawah 8,5 persen. Tebu petani dibeli sepenuhnya oleh pabrik gula dengan skema jaminan rendemen tersebut. Jaminan rendemen 8,5 persen itu sudah bisa meningkatkan kesejahteraan petani, karena sebelumnya dengan penghitungan normal, rendemen masih berkisar 7,5-8 persen,” tuturnya.
Bagi pemerintah, kebijakan itu bisa mengontrol harga. Karena market share (pangsa pasar) produksi gula BUMN mencapai 66 persen, sehingga bisa mengendalikan harga. Jika gula tidak dikuasai sepenuhnya oleh pabrik gula BUMN, pembatasan harga gula akan dikendalikanoleh pedagang.
Jika sudah diterapkan dan gula sepenuhnya dimiliki pemerintah melalui BUMN, gula di tingkat konsumen bisa di harga Rp12.500 per kilogram.
“Itu level harga yang win-win solution, dalam arti petani untung, pabrik gula untung, pedagang untung, dan konsumen senang. Tentu keuntungannya proporsional,” tuturnya lagi.
Di sisi lain, pemerintah pun harus memperingatkan para importir pemegang kuota impor yang menjadi biak kerok kenaikan, untuk segera mengeksekusi impor sesuai waktu yang ditentukan karena izin impornya sudah ada.
“Realisasi impor gula konsumsi baru 26 persen dari total kuota tahun ini, yang hampir 1 juta ton. Melihat kondisi ini agar seluruh pihak pemegang kuota impor gula, saat ini baik dari swasta maupun BUMN segera merealisasikan kuota impor untuk memastikan stok gula Nasional selalu tersedia di akhir tahun. Kalau tidak Pemerintah harus segera mengambil tindakan tegas kepada para pemegang kuota impor yang belum merealisasikan kuota impornya, dengan menerapkan sanksi pencabutan izin impor dan melakukan black list pada perusahaan tersebut terkait dari kegiatan impor,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa