Artikel ini ditulis oleh DR. H. Kurtubi,SE, M.Sp., MSc., Ketua Kaukus Nuklir Parlemen tahun 2014-2019, Mantan Anggota Komisi VII DPR RI.
Jepang dengan kondisi geografisnya jauh lebih labil dari Indonesia, boleh dibilang Jepang terletak di kawasan yang merupakan embahnya ring of fire. Frekuensi terjadinya gempa sangat banyak dan skala gempanya juga besar-besar. Tapi faktanya Jepang kita ketahui sudah membangun dan mengoperasikan puluhan PLTN sudah berlangsung puluhan tahun.
Sejauh ini relatif aman-aman saja. Gedung-gedung pencakar langit di seluruh Jepang, pabrik-pabrik dari industri-industri besar aman-aman saja berdiri dan beroperasi selama puluhan tahun.
Kecuali satu kejadian, yaitu pada tahun 2011, ujug-ujug terjadi musibah PLTU Fukushima yang disebabkan oleh gelombang tsunami. Membikin dunia geger heboh, ketakutan berlebihan, “ketakuten enjit-enjiten” yang tidak rasional. Bahkan sampai banyak negara pemakai PLTN yang ekonominya sudah mapan dan rakyatnya terdidik biasa menggunakan akal sehat, kemudian berbalik arah, bertobat tidak mau lagi memakai PLTN. PLTN-nya yang sudah ada harus ditutup, harus di RIP-kan untuk seterusnya.
Jerman semasa PM Merkel memutuskan menutup, me-RIP-kan semua PLTN-nya. Mengikuti kebijakan yang berbalik 180 derajat terhadap PLTN di Jerman, menyusul ikut adalah beberapa negara Eropa yang lain, seperti Itali, Spanyol, Austria dll.
Negara-negara yang belum pakai PLTN tapi sudah merencanakan untuk membangun PLTN bahkan ada negara yang sudah mulai membangun, menjadi ikut ketakutan berkebihan. Korban fatal dari perasaan ketakutan berlebihan mengikuti Jerman, Italia, Spanyol menutup PLTN adalah Filipina dengan ikut-ikutan menyetop pembangunan dan pemanfaatan PLTN yang sudah dibangun di Bataan (bukan Batan Indonesia yang sekarang sudah RIP tapi bermetamorfose di bawah BRIN). PLTN Bataan belum sempat dioperasikan dan dimanfaatkan oleh rakyat Filipina, padahal biaya yang sudah dikeluarkan sangat besar.
Indonesia ikut-ikutan. Indonesia yang terkenal dalam sejarah gagah berani sejak jaman Patih Gajah Mada dengan sumpah Amukti Palapanya, ikut-ikutan jadi “Penakut enjit-enjiten”. Yang antara lain diwujudkan dalam bentuk pembatalan rencana yang sudah matang, lengkap dengan study scientific dan back up data dan financing-nya untuk membangun PLTN di Semenanjung Muria. Didukung penuh oleh para ahli teknologi di Batan, BPPT dll, tidak berdaya juga. Semua pihak nyaris kehilangan rasionalitas yang jamaknya selalu bersandar pada perkembangan teknologi dan science yang selalu dan terus berkembang, menjadi lunglai dan menyerah. Maka batal lah PLTN berdiri di Semenanjung Muria.
Sungguh menyedihkan dalam perjalanan kehidupan berbangsa, khususnya dibidang aplikasi teknologi. Belakangan yang terjadi malah tambah parah. Bentuk “ketakuten enjit-enjitennya” diwujudkan dalam ketentuan legal formal Kebijakan Energi Nasional atau KEN dengan menempatkan energi nuklir atau PLTN sebagai “opsi terakhir”. Opsi terakhir ini bisa diinterpretasikan bhwa PLTN baru akan dibangun apabila matahari sudah tak bersinar lagi, mendung terus setiap hari, atau apabila angin sudah bertiup angin-anginan atau air sungai sudah tidak mengalir lagi karena hujannya sudah sangat jarang atau hutannya sudah pada gundul.
Tapi kini dengan Kesepakatan Dunia untuk mengurangi kenaikan suhu bumi dan disertai oleh kemajuan Teknologi PLTN yang sudah jauh lebih aman menjamin kecelakaan PLTN seperti yang dialami oleh PLTN Chernobyl dan Fukushima tidak akan terjadi lagi dan PLTN jaman now, juga sudah lebih murah.
Maka PLTN pasti akan bangkit kembali di dunia, terutama di Indonesia akan bisa segera dibangun PLTN Pertama pemecah telor. Juga kita harapkan akan diikuti oleh Rencana atau Roadmap untuk lahirnya Industri Nuklir Terintegrasi Hulu-Hilir di tanah air. SDA Nuklir Uranium dan Thorium yang ada di perut bumi negara kita tidak boleh dibiarkan terus menganggur mubazir. Sudah saatnya untuk ikut berkontribusi dalam mempercepat kemakmuran rakyat dan menciptakan jenis lapangan kerja baru yang sebelumnya belum pernah ada.
Kesimpulan
Indonesia yang rakyatnya ingin cepat makmur menjadi negara industri maju berpendapatan tinggi, sama dengan negara-negara industri maju seperti Amerika, Jepang, Perancis, Korea dll. Dimana saat ini income percapita rakyat Indonesia disaat 77 tahun, baru dalam hitungan 5.000 Dollar Amerika. Sementara negara-negara industri maju, sudah mencapai 60.000 Dollar Amerika. Gap yang menganga ini bisa dipercepat penyempitannya, dengan mempercepat pemanfaatan energi nuklir untuk listrik yang lebih bersih, menyala non stop 24 jam, listrik yang lebih murah dan aman.
[***]