PERIODE kedua baru diemban akan tetapi kasus sudah mengembat. Awalnya soal demo keterpilihannya pada 21-22 Mei 2019 di depan Kantor Bawaslu.
Beberapa demonstran tewas tertembak dan teraniaya. Peristiwa yang bersentuhan dengan pelanggaran HAM di bawah Pemerintahan Jokowi ini tidak berlanjut.
Bersama dengan tewasnya 700 petugas Pemilu secara misterius, maka indikasi pelanggaran HAM ini akan menjadi tagihan masa depan.
Kenaikan tarif BPJS menyulitkan masyarakat kecil. Utang besar ke berbagai rumah sakit cenderung menjadi beban.
Utang pada RS Muhammadiyah saja berjumlah Rp1,2 triliun. Ini memberi gambaran dan bayangan berapa triliun beban utang BPJS seluruhnya. Kekisruhan selayaknya menjadi tanggungjawab Presiden.
Kasus “perampokan” Jiwasraya dan simpang siur aliran dana yang digunakan sehingga gagal bayar hingga Rp12,4 triliun sangat fantastis. Wajar jika Presiden tertekan mental.
Menteri BUMN Erick Thohir jadi bulan-bulanan publik dan media. Bumiputera juga mulai tercium aroma tak sedap. Mengap mengap seperti yang siap mendampingi Jiwasraya.
Dalam kaitan dengan para Presiden terdahulu maka skandal BLBI mengganjal di “sanggul” Megawati. Century melekat pada “jas” SBY. Adapun Jokowi terjerambab di “gorong-gorong” Jiwasraya.
Mulai akting di gorong-gorong kini masuk kembali ke gorong-gorong. Akan tetapi gorong-gorong sekarang jauh lebih dalam dan kotor airnya.
Menteri-menteri pilihan Jokowi tidak bagus dan mengarahkan pada kegagalan. Menteri Pendidikan Kebudayaan Nadiem Makarim bermasalah main rombak sistem pendidikan.
Menteri Agama Fachru Rozi mengobrak-abrik persoalan agama. Menteri BUMN Erick Thohir meradang. BUMN berantakan dan bakal kaya dengan skandal. Menteri Keuangan Sri Mulyani mulai kurang uang dan ditagih utang. Menteri lain diam seperti kehilangan program.
Tahun baru 2020 tidak ceria. Kelam dan bergerak menuju kegelapan. Jokowi mulai lemas menatap ke depan. Kurang tidur karena 2019 babak belur.
Ada yang menghembuskan ia ingin menjabat tiga periode. Itu sama saja dengan menjerumuskan diri ke jurang. Sulit menyebut prestasi, yang ada adalah kegalauan, kegilaan, dan kegagalan.
Masa depan bukan milik Jokowi. Masa belakang juga bukan. Lalu keberadaan Presiden Jokowi tak lain adalah “ada dalam tiada” atau sebaliknya “tiada dalam ada”.
2020 baiknya Pak Jokowi mundur saja. Toh sudah cukup merasakan beratnya bermain sandiwara boneka politik selama ini.
Ditambah aksi aksi kepresidenan yang hanya akan memperpanjang tontonan atas ketidakmampuan. Apapun langkah, jika rakyat sudah tak percaya maka itu tak ada guna.
Berbuat baiklah untuk negeri dengan mengundurkan diri. Rakyat akan menilai itu sebagai prestasi yang patut dihargai.
Jangan sampai terlambat, nanti ada yang memundurkan, repot lagi. Happy New Fear.
Oleh M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik, Tinggal di Bandung