Artikel ini ditulis oleh Adityo Fajar, Ketua Bidang Ideologi dan Kaderisasi Partai Buruh.
Rabu malam, 14/12/2022, Partai Buruh mengambil nomor urutnya di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat. Partai berwarna oranye ini memperoleh nomor 6. Nomor yang menarik. Selalu ada tafsir mengenai angka. Tetapi tulisan ini tidak perihal itu. Tulisan ini tentang sepenggal kisah orang-orang yang selama ini ada di barisan demonstrasi, kemudian tiba ke gelanggang elektoral bersama idenya. Mereka yang biasanya berseru dari atas mobil komando, kini bersiap menghimpun asa lewat kotak suara. Dari gerakan sosial ke pemilu, singkatnya.
Kisah gerakan sosial yang berderap ke panggung Pemilu tentu bukanlah barang anyar. Di Amerika Latin ada berderet-deret contoh. Evo Morales di Bolivia lahir dari gerakan petani, selanjutnya memenangkan pemilu pada suatu masa. Daniel Ortega sebelum menjadi presiden Nikaragua merupakan pejuang anti kediktatoran Somoza. Pepe Mujica di Uruguay memiliki titian yang serupa. Pedro Castilo di Peru, -yang sayangnya baru dimakzulkan-, berangkat dari perjuangan kesejahteraan guru. Dan jangan lupa, Lula da Silva, aktivis buruh kawakan yang belum lama kembali ke tampuk kursi kepresidenan Brazil.
Seperti itu Partai Buruh hendak dimaknai. Orang-orang pergerakan yang berpartai. Bukankah ini tak asing di telinga historia bangsa kita? Perintis Republik ini serupa itu semua. Soekarno aktivis pergerakan nasional mendirikan PNI. Aktivis Jong Islamieten Bond bernama Mohammad Natsir berkelindan dengan Masyumi. Syahrir menemukan dirinya bukan saja di kancah perlawanan kemerdekaan, pun dalam tubuh PSI. Partai Buruh oleh karenanya adalah anak zaman yang mencoba melanjutkan tradisi pendahulu bangsa.
Kembali ke kantor KPU, menjelang pukul 22.00 WIB malam, Said Iqbal, Presiden Partai Buruh mendapat kesempatan berpidato. Usai sopan santun pembuka, kalimat pertama pidato Said Iqbal terbilang menghentak, “Ini adalah partai kelas!” Kalimat ini mewakili diskurus yang berani. Presiden partai sedang menegaskan kepada kelas mana mereka berpijak. “Kami akan dedikasikan partai ini untuk kelas pekerja.” Kalimat kedua menegaskan kelas mana yang dimaksud. “Buruh, petani, nelayan, miskin kota, miskin desa., ibu-ibu jamu gendong, mama-mama pedagang sayur, buruh migran….”, demikian wujud kelas pekerja dimudahkan dalam contoh, sebagaimana dilafalkan Said Iqbal.
Selanjutnya Bung Iqbal, begitu kami biasa memanggilnya, menjelaskan secara cepat-cepat platform perjuangan partai. Sesuatu yang dinamakan negara kesejahteraan alias welfare state. Konsep tersebut menyangkut 3 pokok fikiran: kesetaraan kesempatan, redistribusi kekayaan dan tanggungjawab publik. Presiden partai juga berseru mengenai Reforma Agraria, perluasan jaminan sosial dan kedaulatan pangan. “Kampus-kampus bukan hanya milik orang-orang kaya, kampus-kampus terbaik juga harus diisi orang-orang miskin”, demikian visi Bung Iqbal mengenai pendidikan tinggi universal buat seluruh lapisan.
Sudah lama publik tidak mendengar pesan ideologis sejelas yang diutarakan Said Iqbal. Kalau pun masih ada, samar-samar belaka yang hinggap di telinga. Belakangan elite partai sibuk bersilat narasi seputar sirkulasi kepemimpinan, tanpa agenda ideologis yang jelas. Talk Show-talk show politik di televisi dibanjiri peragaan retorika marketing kandidat, minus gagasan yang terang perihal apa yang hendak mereka bawa untuk Indonesia. Siapa yang jadi itu yang terpenting, alih-alih apa yang akan dibuat untuk Indonesia menjadi, lebih baik.
Politik kita belakangan seperti ajang “idolisasi”, dimana bungkus menjadi lebih urgen daripada isi. Elite kemudian lebih tertarik bersolek rias seturut selera pasar. Gimmick menjadi elemen andalan. Nilai saham politik lantas akan diukur secara berkala oleh lembaga survei. Ujungnya, wajah partai politik hampir-hampir terlihat sama: cantik dirupa, kosong dalam agenda juang. Panggung politik yang seperti ini menjauhkan partai politik dari salah satu tugas pentingnya: memberikan pendidikan politik kepada publik.
Partai politik yang tidak membangun pendidikan politik yang baik kepada publik, akan sukar menjalin ikatan erat dalam jangka panjang. Mereka ngos-ngosan membentuk apa yang dinamakan ‘basis massa ideologis’. Ajang elektoral kemudian menjadi sangat transaksional. Bahkan bayar tunai di depan. Masalah yang kemudian muncul yaitu rendahnya Party ID di Indonesia. Menurut penilaian sebuah lembaga survei, cuma 6,8 persen penduduk Indonesia yang merasa memiliki ikatan dengan parpol tertentu. Sementara 92,3 persen bersikap sebaliknya.
Lemahnya Party ID lamat-lamat membawa kehidupan demokrasi kita kepada fenomena ‘de-parpolisasi’. Sebuah fenomena yang makin tahun, makin mnghebat. Sesuatu yang mengarah ke personalisasi politik. Manifestasinya, publik condong lebih tertarik ke tokoh atau figur daripada partai. Tren de-parpolisasi (partisan dealignment) memang tidak hanya unik Indonesia, menurut sebuah studi tren yang sama terjadi di Eropa Barat dalam kurun waktu 50 tahun terlahir.
Said Iqbal tampil dengan pidato pendek di KPU, menjelaskan agenda ideologis partai yang diwakilinya. Andai dia memiliki waktu yang lebih panjang. Narasi programatik bisa dia ulur lebih jauh lagi. Politik sebagai ikhtiar dan pertarungan tentang gagasan diucapkannya. Bung Iqbal mencoba menarik ulang politik negeri kita ke wilayah tersebut. Mengembalikan makna kenapa parpol harus diidirkan dan bagaimana de-parpolisasi bisa dilawan. Judul tulisan ini mungkin terkesan arogan. Sungguh sengaja belaka. Kami ingin mengajak kompetisi gagasan sebagai fitur utama Pemilu kita ke depan, bukan sentimen sektarian apalagi adu kekuatan kapital.
Akhir cerita, beberapa kolega di partai bilang, Said Iqbal adalah “Lula-nya Indonesia”. Wajah Bung Iqbal memang dikerubungi bulu dan janggut, hal yang mirip belaka dengan sosok pemimpin gerakan buruh dari negeri Samba itu. Mungkin padanan ini terdengar berlebihan. Mungkin juga tidak. Mungkin malah bisa melampaui. Sejarah masih bergulir, kita tidak pernah tahu.
[***]