Artikel ini ditulis oleh Tri Wibowo Santoso, Direktur Eksekutif Indo Parameter.
Pelanggaran konstitusi yang dilakukan pemimpin hampir di semua negara selalu berujung pada pemakzulan. Bahkan, di Inggris, Boris Johnson memilih mundur sebagai Perdana Menteri setelah dihujani kritik dari publik, lantaran pria yang lahir pada 19 Juni 1964 itu mengadakan pesta di saat pemerintah memberlakukan kebijakan lockdown di awal pandemi Covid-19 pada 2020. Kejadian itu dikenal dengan skandal partygate.
Selain partygate, publik juga menyoroti keputusan Boris Jhonson mengakomodir Chris Pincher, sekutunya di Partai Konservativ Britania Raya untuk menduduki posisi penting, yakni, Deputy Chief Whip. Posisi itu mengatur kontribusi partai untuk bisnis parlemen.
Padahal, Pincher sendiri kala itu tengah diselidiki oleh badan pengawas parlemen terkait tuduhan pelecehan seksual, setelah meraba-raba dua pria yang dalam keadaan mabuk.
Dua hal itulah yang membuat Boris Jhonson secara legowo mundur dari posisinya sebagai PM Inggris.
Keputusan yang sama juga dilakukan pengganti Boris Jhonson, yakni, Liz Truss. Bedanya dengan Boris Jhonson, wanita yang bernama lengkap Mary Elizabeth Truss itu menjabat sebagai PM Inggris hanya 45 hari saja. Ia memilih mundur, lantaran merasa tak sanggup mengatasi persoalan ekonomi di tengah ancaman resesi yang menimpa Inggris. Selain itu, wanita yang lahir 26 Juli 1975 itu tak kuat menahan banyaknya tuntutan dari orang-orang yang ada di dalam kabinetnya sendiri agar Liz Truss segera mundur.
Bila dicermati, kedua figur tersebut tak melakukan pelanggaran konstitusi yang sangat serius, sehingga bisa saja Boris Jhonson atau Liz Truss mempertahankan jabatannya sebagai PM Inggris. Namun, budaya malu lah yang membuat keduanya bisa bersikap kesatria untuk lengser dari singgasana. Dua figur tersebut juga menyadari bahwa kepentingan rakyat jauh lebih besar ketimbang mereka.
Nah, kisah Boris Jhonson dan Liz Truss yang mengundurkan diri sebagai PM Inggris berbeda dengan Presiden Vietnam Nguyen Xuan Phuc yang juga memilih mundur dari jabatannya pada Selasa (17/1/2023). Pria yang lahir 20 Juli 1954 itu memilih lengser karena merasa bertanggung jawab atas kejahatan korupsi yang dilakukan sejumlah menteri kabinet dan pejabat.
Bagaimana dengan Indonesia?
Berbeda dengan Presiden Vietnam Nguyen Xuan Phuc yang memilih mundur dari jabatannya, karena merasa bertanggung jawab atas keterlibatan anak buahnya dalam kasus kejahatan korupsi, di Indonesia justru anak buah Presiden RI, Joko Widodo yang diduga melakukan tindakan korupsi saat masa pandemic Covid-19 bisa aman hingga hari ini.
Dugaan praktik korupsi anak buah Jokowi itu dialamatkan pada Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan oleh Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Kamis (4/11/2021).
Laporan terhadap menteri itu dilakukan berdasarkan hasil investigasi pemberitaan media terkait dugaan adanya keterlibatan pejabat negara dalam bisnis PCR melalui PT Genomerik Solidaritas Indonesia (GSI).
Ternyata tak hanya anak buah Jokowi yang diduga terlibat praktik korupsi, kedua putra Sang Presiden juga pernah dikaitkan dalam dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) serta kolusi dan nepotisme (KKN).
Adalah Akademisi Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun yang melaporkan dua anak Presiden Jokowi, yakni Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep ke KPK pada pertengahan Januari 2022. Berdasarkan penelusuran Ubed, bisnis Gibran dan Kaesang punya kaitan dengan perusahaan yang diduga terlibat dalam kasus pembakaran hutan, yakni PT BMH, anak usaha dari Group Sinar Mas.
Belakangan, KPK telah menutup kasus TPPU yang melibatkan Gibran dan Kaesang dengan alasan laporan tidak jelas. Padahal, lembaga anti korupsi itu belum melakukan penyelidikan dan penyidikan. Misalnya, memanggil kedua anak kandung Jokowi untuk diperiksa.
Daftar Panjang Pelanggaran Konstitusi
Tak hanya praktik KKN di kalangan pejabat dan keluarga penguasa saja yang semakin bertumbuh subur. Sederet pelanggaran konstitusi di era rezim Jokowi juga semakin panjang.
Misalnya, penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid 19).
Beberapa pasal di dalamnya bertentangan dengan konstitusi. Muatan yang dianggap berpotensi melanggar konstitusi RI terdapat pada Pasal 12, 27, dan 28.
Perppu tersebut berpotensi mengembalikan absolute power dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh Presiden. Pasal 12 dalam Perppu itu dinilai telah memberikan ruang kepada Presiden untuk dapat mengeluarkan APBN hanya berdasar Perpres. Hal ini sama saja dengan menghilangkan proses check and balances, salah satu karakteristik yang sangat esensial dalam kehidupan demokrasi suatu negara.
Kondisi itu akan memberi celah kepada Presiden untuk dapat bertindak absolut dalam menentukan anggaran keuangan negara, tanpa adanya persetujuan dari rakyat melalui DPR.
Kemudian, subtansi Pasal 27 dalam Perppu itu dinilai menghilangkan unsur pengawasan DPR maupun lembaga lain. Penyimpangan yang mungkin dilakukan pejabat publik dalam hal penanggulangan COVID-19 jadi tidak bisa diusut atau dengan kata lain kebal hukum. Pasal 27 dinilai memberikan imunitas atau kekebalan hukum kepada semua pihak yang disebutkan dalam Perppu No. 1 Tahun 2020, termasuk juga pengguna anggaran.
Bahkan, semua tindakan maupun keputusan yang diambil berdasarkan Perppu ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada PTUN. Hal ini jelas melanggar Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Selain itu, dinilai juga termasuk pelanggaran terhadap prinsip rule of law, di mana equality before the law menjadi salah satu elemen penting di dalamnya. Lalu, Pasal 28 Perppu membuat keterlibatan DPR dalam pembuatan APBN menjadi tiada. Perubahan APBN 2020 menurut Perppu ini hanya diatur melalui Peraturan Presiden, yakni Perpres No. 54/2020. Padahal, APBN merupakan wujud pengelolaan keuangan negara, yang dengan kata lain ada partisipasi rakyat di dalamnya, yang diwakili oleh DPR.
Selain itu, pembentukan APBN juga telah diatur secara tegas dalam Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3) UUD Tahun 1945. Dengan demikian, pasal ini secara tidak langsung telah meniadakan kehadiran rakyat sebagai pemegang kedaulatan di negeri ini.
Kebijakan ekonomi di era rezim Jokowi juga tak sesuai konstitusi, karena mengarah pada kapitalisme dan liberalisme. Misalnya, investasi asing yang semakin digencarkan.
Kemudian, penerapan harga bahan bakar minyak sesuai dengan harga pasar. Padahal, Mahkamah Konstitusi sendiri telah membatalkan Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Ketentuan pasal ini menyerahkan proses pembentukan harga eceran bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri sepenuhnya kepada mekanisme persaingan pasar. Pasal 28 ayat (2) UU Migas tersebut dinilai bertentangan dengan dengan UUD 1945 Pasal 33 yang intinya mengamanatkan cabang sumber daya alam yang penting dikuasai negara untuk kepentingan rakyat.
Kemudian, kebijakan politik luar negeri bebas aktif yang digeserkan pada persahabatan dominan dengan Republik Rakyat China. Akibatnya, TKA China membanjiri negeri ini. Hal ini tentu bertentangan dengan makna Pembukaan UUD 1945 alinea pertama dan keempat.
Lalu, ketidak konsistenan Jokowi dalam mengelola negara yang bersih dari KKN. Misalnya, revisi UU KPK yang berakibat pada pengebirian Komisioner. Dewan Pengawas dengan keanggotaan yang diangkat dan ditetapkan oleh presiden menjadi dominan dan penentu. Hal ini jelas bertentangan dengan semangat agar penyelenggara negara menjalankan konstitusi dengan baik sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan UUD 1945.
Selanjutnya, keinginan pindah ibukota dan pengendalian hukum melalui Omnibus Law tanpa mengindahkan aspirasi rakyat adalah pelanggaran atas asas kedaulatan rakyat dan negara hukum yang dimaksud oleh pasal 1 ayat (2) dan (3) UUD 1955.
Nah, yang tak kalah menarik adalah manuver politik perpanjangan masa jabatan presiden atau penambahan periode. Walau Jokowi terus mengelak tidak sepakat dengan ide itu, tetap saja mantan Wali Kota Solo tersebut membiarkan relawannya menggaungkan isu yang jelas-jelas melanggar konstitusi.
Misalnya, kehadiran Jokowi dalam acara relawan Gerakan Nusantara Bersatu yang digelar di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK) pada Sabtu (27/11/2022). Ternyata, dalam acara itu didominasi dengan spanduk yang bertuliskan perpanjang masa jabatan menjadi tiga periode. Event organizer acara itu diketahui adalah Rans Entertainment, dimana Kaesang Pangarep, putra bungsu Jokowi merupakan komisarisnya.
Wacana perpanjangan masa jabatan presiden menjadi 3 periode tak seharusnya digulirkan. Sebab, merujuk Pasal 7 UUD, masa jabatan presiden dan wakil presiden dibatasi paling banyak dua periode, dengan lama masa jabatan 5 tahun setiap satu periode. Oleh karenanya, mendorong perpanjangan masa jabatan presiden dinilai sebagai bentuk tindakan melawan konstitusi.
Dengan langkah dan kebijakan presiden yang terindikasi melanggar konstitusi, maka DPR, MPR, serta Mahkamah Konstitusi harus bersikap lebih tegas, obyektif, dan independen. Bebas dari pengendalian politik pemerintah. Segera secara konstitusional untuk mengawasi serius, mengoreksi, dan bila perlu segera memberhentikan Presiden dari jabatannya.
Jika DPR-MPR tak segera menggunakan haknya untuk memanggil Presiden dalam rangka meminta klarifikasi atas dugaan pelanggaran konstitusi yang dilakukan Jokowi, maka ucapan Presiden RI ke-1 sekaligus founding father Indonesia, Soekarno bahwa “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri” benar adanya. Sebab, rakyat harus melawan penguasa yang terbukti melakukan abuse of power, tak peduli lagi aturan konstitusi yang dirancang founding father untuk mewujudkan Indonesia yang adil dan sejahtera.
[***]