BAGIÂ para orangtua, kegiatan mengantar anak masuk sekolah di hari pertama sekolah, seharusnya memang menjadi titik awal bersejarah dalam memulai hubungan kerjasama strategis antara orangtua dengan guru, untuk bersama-sama melakukan sinergitas penyelenggaraan proses pendidikan yang terbaik dan bermutu bagi anak.
Sinergitas antara orangtua dan lembaga pendidikan tersebut harus dipastikan bergerak ke arah proses pendidikan yang benar-benar mampu mematangkan dan melejitkan secara alamiah beragam potensi dan keunikan yang ada pada setiap anak, bahkan mengkuantumkannya. Baik proses pendidikan di ranah sekolah oleh guru, maupun proses pendidikan di dalam keluarga oleh orangtua.
Kemampuan melakukan sinergitas yang produktif antara orangtua dan guru dalam menyelenggarakan proses pendidikan anak di dua ranah yang berbeda itu, menjadi sangat penting ditekankan kembali di sini. Apalagi mengingat hal itu telah menjadi isu lama, yang setidaknya dalam penilaian saya, tak kunjung juga mengalami kemajuan berarti dari waktu ke waktu.
Dan ketika sinergitas yang produktif antara para orangtua dan guru itu bisa terbangun dengan baik, maka banyak agenda terkait pemenuhan hak-hak anak dan agenda pemajuan perlindungan anak pun bisa diselenggarakan secara jauh lebih baik lagi.
Selama ini tidak jarang proses, muatan dan metode pendidikan terhadap siswa berjalan cukup baik di sekolahnya. Namun hal itu justru dimentahkan, atau malah dirusak, oleh proses, muatan, dan metode pendidikan dari pihak orangtua di rumah.
Misalnya, guru tak memperkenankan siswanya untuk bermain gadget. Namun ternyata para orangtua membelikan gadget tercanggih dan membolehkan anaknya bergadget-ria, bahkan tanpa bimbingan dan pengawasan berarti atas penggunaan gadget itu oleh anaknya. Selain contoh itu tentu masih banyak contoh lainnya.
Masih sering pula terjadi, dimana proses, muatan dan metode pendidikan oleh orangtua di rumah yang telah berjalan cukup bagus, justru “ditorpedo” oleh guru. Entah itu lewat metode pembelajaran yang membosankan, atau penerapan kekerasan verbal maupun fisik terhadap siswa atas nama pendisiplinan, dan sebagainya.
Kembali pada kegiatan Hari Pertama Sekolah pada Senin 18 Juli 2018, sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran Mendikbud Anies Baswedan No.4 Tahun 2016, saya menilai kegiatan dan muatan muatan kontennya masih saja hambar. Ya, sehambar kegiatan serupa saat pertama kali dilaksanakan tahun 2015 lalu.
Mengapa saya katakan hambar? Karena momentum hari pertama sekolah itu gagal didesain sedemikian rupa oleh otoritas Kemendikbud agar mampu menjadi titik tolak yang benar-benar diandalkan bagi terciptanya sinergitas yang produktif antara pihak sekolah dengan para orangtua siswa. Hal itu dalam rangka menjamin proses pendididikan di sekolah dan di lingkungan keluarga dapat saling melengkapi dan menguatkan.
Berdasarkan pengamatan langsung saya, juga para sahabat jaringan orangtua muda yang konsen pada isu pendidikan di beberapa sekolah, tidak terlihat ada hal baru, kontens baru, dan pendekatan baru yang bermuatan transformatif, bagi proses penumbuhan sinergitas antara pihak sekolah dan para orangtua pada kegiatan mengantar anak di hari pertama sekolah.
Tanpa Menteri Anies mengeluarkan surat edaran maupun Permen sekalipun, sebenarnya sudah berpuluh-puluh tahun, saat memasuki tahun ajaran baru, maka para orangtua tentu mengantarkan anaknya di hari pertama masuk sekolah.
Jika pun ada yang baru, lebih bersifat permukaan saja. Misalnya, terkait permohonan dispensasi dari Mendikbud kepada instansi pemerintah daerah agar mengijinkan para karyawannya mengantar anaknya di hari pertama sekolah. Juga acara penyerahan anak secara simbolis dari salah satu perwakilan orangtua kepada pihak sekolah.
Hal baru lainnya adalah, di beberapa sekolah, tidak semua, kepada siswa barunya diajarkan lagu berjudul “Hari Pertama Ke Sekolah.”
Namun, saat para siswa masuk ke dalam kelas selesai berbaris seluruh kelas di lapangan, orangtua pun lalu bergerombol di area yang menjadi batas antar jemput para orangtua.
Tidak dibuat forum pertemuan khusus yang disediakan bagi guru dan orangtua untuk saling berinteraksi.
Padahal alangkah baiknya pada kegiatan hari pertama sekolah itu, tersedia ruang dan waktu untuk pertemuan guru dengan para orangtua siswa.
Dalam pertemuan penuh suasana kekeluargaan antara guru dan orangtua siswa itu, pihak guru bisa menyampaikan garis kebijakan sekolah secara umum, berikut strategi dan metode pembelajaran untuk para siswa dalam rangka mencapai tujuan pendidikan.
Tak terkecuali untuk menyampaikan muatan-muatan kebijakan maupun program-program dari kemendikbud maupun dinas pendidikan setempat yang perlu diketahui oleh orangtua siswa.
Di sisi lain orangtua pun bisa menyampaikan perspektifnya tentang proses pendidikan dan metode pendidikan yang selama ini diterapkan di rumah terhadap anaknya. Juga tentang aspirasi-aspirasinya menyangkut proses pendidikan yang diselenggarakan oleh pihak sekolah.
Lalu dari situ diharapkan menjadi awal dari munculnya sebuah kesepahaman bersama tentang perlunya sinergitas yang harus dibangun antara orangtua dan guru. Dan akan sangat penting jika pertemuan antara orangtua dan guru itu berlangsung secara periodik. Entah dua bulan sekali atau tiga bulan sekali, misalnnya, untuk koordinasi sinergitas proses pendidikan anak, baik di sekolah maupun di dalam lingkungan keluarga.
Di sisi lain, sinergitas yang diharapkan terbangun antara guru dan orangtua siswa itu ternyata masih sunyi dari langkah-langkah dan program-program penguatan yang signifikans dan membumi dari pihak Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga Kemendikbud.
Sunyinya itu bisa dilihat, misalkan, dalam kampanye kegiatan Hari Pertama Sekolah. Para orangtua diminta Menteri Anies Baswedan untuk mengantar anaknya dan berinteraksi dengan para guru. Namun saat orangtua mengantarkan anaknya di hari pertama sekolah, ternyata tidak didapat oleh kalangan orangtua siswa, misalnya, tentang apa, bagaimana, dan kapan program-program atau pelatihan-pelatihan tertentu yang menyasar
para guru dan para orangtua siswa akan dijalankan oleh Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga.
Padahal sebagai direktorat di bawah Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat Kemendikbud, Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga, menjadi pihak yang juga harus bertanggungjawab untuk memastikan berjalan baiknya sinergitas antara proses pendidikan di sekolah dengan pendidikan di lingkungan keluarga.
Jangan sampai pembentukan Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga yang baru dibentuk tahun lalu itu cuma sekedar menjadi direktorat yang cuma memiliki anggaran dari rakyat melalui APBN belaka, tapi tak punya program-programnya yang dapat dirasakan dan membumi, yang benar-benar mampu diandalkan menyinergikan proses pendidikan anak di sekolah oleh guru, dan proses pendidikan di dalam keluarga oleh orangtua.
Jika beberapa waktu ke depan Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga terus saja dekaden, maka akan menjadi salah satu direktorat yang paling layak untuk dibubarkan.
Oleh: Nanang Djamaludin, Direktur Eksekutif Jaringan Anak Nusantara (JARANAN), Konsultan Parenting dan Kota Layak Anak