Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
Di zaman Demokrasi Terpimpin hukum tenggelam di bawah patrimonialisme ideologi rezim.
Waktu itu ahli hukum nggak kepake. Menteri hukumnya memodifikasi lambang Dewi Keadilan dengan nambahin kata “pengayoman” dan gambar beringin.
Tapi maksud dan tujuannya diragukan apakah diperuntukkan bagi seluruh pencari keadilan, atau buat mengayomi (melindungi) orang yang bersalah.
Hukum adalah Volkgeist. Jiwa Bangsa. Cerminan kondisi kejiwaan para elit yang berkuasa. Sakit-tidaknya kondisi kejiwaan sebuah bangsa dapat dilihat dari Volkgeist-nya.
Kalau politik basisnya opini publik. Hukum basisnya bukti.
Juliari Batubara, bekas Mensos, terbukti bersalah nyolong duit Bansos Covid-19. Terima suap 32, 4 miliar rupiah dari rekanan.
Hakim memvonis 12 tahun. Putusan didasarkan karena hakim terkesan kasihan, menganggap Juliari sudah banyak menderita sebab sering di-bully oleh publik.
Kalau di China Komunis para koruptor katanya dihukum mati, di Jepang dan Korea mati bunuh diri, karena tiada dapat menahan malu dan ada standar moral, aneh bin ajaib di negeri ini hakim tampil welas asih, sehingga koruptor diayomi.
Tokoh nasional Dr Rizal Ramli terperangah dan menyebut itu hakim-hakim langka, karena menggunakan argumen paling aneh di dunia.
“Hakim-hakim itu kok jadi psikolog? Kok simpati sama koruptor yang nyolong hak orang miskin? Itu hakim-hakim mesti diperiksa psikiater,” tandas Rizal Ramli di akun twitter-nya.
Saya sendiri jadi teringat perkataan ahli hikmah yang bijaksana, bahwa salah satu yang diharamkan untuk masuk surga adalah hakim yang tidak adil ketika menjalankan amanat sebagai wakil Tuhan di dunia.
[***]