KedaiPena.Com– Pengamat politik Ray Rangkuti mendorong parpol menggulir hak angket DPR RI untuk membongkar dugaan kecurangan dan penyalahgunaan kekuasaan pada Pilpres 2024.
Menurut Ray, parpol yang pernah membuat pernyataan mendukung hak angket akan dihukum rakyat karena tidak menepati janjinya bila tidak digulirkan. Hukuman itu bisa dalam bentuk rakyat tidak mendukung calon yang didukung parpol tersebut di pilkada serentak yang akan berlangsung, pada November 2024.
Pendiri lembaga swadaya masyarakat (LSM) Lingkar Madani (Lima) itu mengingatkan, hak angket jangan dibentur pada pemakzulan presiden, karena tujuan dari hak angket adalah untuk membongkar dugaan penggunaan kekuasaan yang tidak sah untuk pemenangan paslon tertentu.
Ia menilai lebih baik hak angket digulir untuk mengetahui benar atau tidak ada penyalahgunaan kekuasaan oleh presiden, politisasi bansos, pengerahan aparatur negara dalam pelaksanaan Pilpres 2024.
“Kalau tidak terbukti, pemenang pemilu makin legitimate_dan presiden terbebas dari asumsi menggunakan kekuasaan. Jika terbukti, ini jadi modal untuk mengevaluasi. Jadi jangan khawatir angket ubah hasil pemilu, ini sulit. Hak angket tidak berbahaya, malah mencerdaskan publik,” papar Ray dikutip dari kanal RON!N, Sabtu,(30/3/2024).
Lebih lanjut, dia menyebut ada tiga hal yang membuat parpol belum menggulirkan hak angket. Pertama, masih ada saling tunggu di antara parpol siapa yang akan memimpin. Kedua, belum tumbuh rasa percaya di antara parpol. Ketiga, sikap pragmatis di antara elite parpol.
Ray menekankan, hal penting saat ini bagi parpol adalah membuktikan bahwa hak angket berjalan agar rakyat tidak menilai parpol hanya manis di bibir.
“Buktikan kepada rakyat tidak manis di bibir, kalau nanti tidak didukung di paripurna tidak masalah, tetapi yang penting ini sudah dilaksanakan. Seperti PKS, PKB, Partai Nasdem, karena mereka sudah berulangkali mengatakan mendorong angket, mestinya tidak boleh mundur,” tukasnya.
Lebih Leluasa
Secara terpisah, Ketua Tim Demokrasi dan Keadilan Ganjar-Mahfud, Todung Mulya Lubis mengatakan, akan terus mendorong hak angket dilaksanakan, karena dinilai lebih leluasa untuk membongkar kecurangan terstruktur sistematis dan massif (TSM) dibanding proses hukum di Mahkamah Konstitusi (MK).
Dia menyebut, aturan-aturan di MK cenderung kaku dan waktu yang terbatas, yakni hanya 14 hari untuk membuat putusan sengketa perselisihan hasil pemilihan umum presiden dan wakil presiden (PHPU Presiden).
Contohnya, jumlah saksi dan ahli dibatasi 19 orang dengan waktu yang terbatas yakni 20 menit untuk setiap saksi. Sementara, jalur angket di DPR bisa memanggil siapa saja untuk dimintai keterangan termasuk presiden.
Dari beberapa kali pertemuan dengan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, katanya, tidak melihat ada keberatan. Oleh karena itu, hak angket semestinya berjalan, namun perjalanannya mulus atau tidak sangat tergantung pada parpol lain karena tidak cukup hanya mengandalkan PDI Perjuangan.
“Seharusnya jalan hak angket, karena saling isi. Tidak semua kecurangan pilpres bisa dibongkar di MK, mungkin bisa dibongkar di hak angket yang forumnya tidak kaku,” kata Todung dikutip dari kanal Abraham Samad “Speak Up,” Sabtu (30/3/2024).
Todung menambahkan, hak angket untuk kepentingan semua pihak dan dorongan untuk terlaksananya angket datang dari berbagai kalangan seperti akademisi (guru besar) Universitas Indonesia (UI), UGM, budayawan, seniman.
“Saya tidak mengerti kalau ini tidak berjalan, UGM sudah bergerak, UI juga sudah berjalan, seniman, budayawan. PDI Perjuangan suaranya besar tapi tidak cukup, perlu parpol lain. PPP, Nasdem, PKB, PKS, saya tidak berani berspekulasi, tapi harusnya mereka bagian dari hak angket,” pungkas Todung.
Laporan: Muhammad Lutfi