KedaiPena.Com – Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah menganggap wajar kalau DPR akan menggunakan Hak Angket, guna melakukan penyelidikan terhadap divestasi atau pembelian 51 persen saham PT Freeport oleh pemerintah melalui PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), salah satu perusahaan ‘plat merah’ milik pemerintah.
“Usulan Hak Angket, saya duga pasti terjadi. Kalau pun tidak pada periode ini, tetapi pasti pada periode mendatang. Itu wajarlah,” sebut Fahri Hamzah dihubungi wartawan, ditulis Jumat (28/22/2018).
Hak Angket, menurut politisi dari PKS itu adalah mekanisme DPR untuk menemukan kebenaran dari kecurigaan yang begitu banyak, mengingat divestasi tersebuti penuh dengan kejanggalan, sehingga memunculkan kecurigaan.
“Nah, kejanggalan dalam divestasi itu pasti mendatangkan penggunaan Hak Anget oleh DPR, dan saya setuju supaya kita memiliki ketenangan dalam penggunaan keuangan negara dan kewenangan di dalam negara,” tegasnya.
Lantas, Fahri pun mengungkapkan bahwa saat kampanye pada Pilpres 2014 lalu, Jokowi yang kini menjadi presiden tidak pernah membuat janji politik tentang pembelian saham Freeport. Yang ada janji politik adalah pembelian saham Indosat.
“Lagi pula Freeport itu, 2021sebenarnya akan berakhir, dan diawal-awal pemeritahannya, Jokowi berjanji atau mengatakan tidak akan menyentuh saham Freeport itu karena negosiasi baru bisa dimulai 2019,” bebernya.
Sebenarnya, masih menurut Fahri, secara periodik itu memiliki makna positif, karena hanya presiden baru yang akan dilantik 2019 yang bisa melakukan perpanjangan atau negosiasi perpanjangan. Sementara presiden-presiden sebelumnya bertugas untuk mengelaborasi data-data teknisnya.
“Tetapi kemudian ada lompatan, dan lompatan ini sangat mencurigakan karena tidak saja pola ini sebenarnya sudah sering terjadi, dan berakhir dengan kerugian dipihak Indonesia,” kata dia.
Apa yang terjadi dengan Newmont misalnya, lanjut Anggota DPR dari dapil NTB itu, nanti polanya persis sama. Dimana, pemerintah seolah-olah membeli, padahal sebenarnya itu diberi utang dan pemberian utang itu nanti berakibat adanya kepemilikan semu.
“Seolah-olah kita memiliki, tetapi sebenarnya tidak. Itulah yang terjadi dengan Inalum. Apalagi Inalum ini BUMN baru dan bahkan saya waktu menjadi anggota Komisi IV DPR dulu, Inalum itu belum masuk pembahaan karena baru dibeli oleh Pak SBY di akhir periode pemerintahannya,” tuturnya.
Inalum itu, sebut Fahri Hamzah lagi, bukan perusahaan yang punya kekuatan untuk membeli, apabila tidak ada semacam perjanjian politik tertentu di belakang semua ini, antara pemerintah dengan pemberi utang maupun perusahaan yang diakuisisi.
“Jadi, sekarang kita tahu bahwa yang disebut 51 persen itu adalah kepemilikan yang sepenuhnya dibeli dengan utang. Kemungkinan utangnya diberikan kepada pihak yang membeli, sehingga sebenarnya tidak ada pengambilalihan saham secara mutlak. Tetapi citranya begitu, istilahnya ini pakai nama,” sindirnya.
Hal ini lah yang menurut Fahri harus dibongkar, karena tidak saja pembelian tersebut punya kemungkinan kebohongan politik dan kebohongan publik, tetapi juga ada kerugian negara yang besar sekali.
“Harusnya, kalau kita menunggu sampai 2021, petanya tidak akan begini,” pungkas Pimpinan DPR RI Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat (Korkesra) itu.
Laporan: Muhammad Hafidh