Artikel ini ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies).
Yusril Ihza Mahendra mencoba membuat opini, bahwa kecurangan pemilu adalah sengketa perhitungan pemilu yang harus diselesaikan di Mahkamah Konstitusi.
Opini Yusril bukan opini ahli hukum independen. Tetapi untuk kepentingan kelompoknya, dan kepentingan pribadinya.
Yusril sengaja mengarahkan penyelesaian kecurangan pemilu melalui Mahkamah Konstitusi, karena yakin para hakim konstitusi akan berpihak pada pemerintah. Sejauh ini telah terbukti Mahkamah Konstitusi tidak adil, tidak menegakkan konstitusi, dan bahkan menjadi aktor kecurangan.
Pada hakekatnya, kecurangan pemilu, atau pelanggaran pemilu, adalah tindak pidana. Pasal 286 ayat (2), (3), dan (4) UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu mengatur pembatalan calon apabila melakukan pelanggaran pemilu secara terstruktur, sistematis, dan masif.
Pasal 286 ayat (4) menyatakan: Pemberian sanksi terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menggugurkan sanksi pidana.
Oleh karena itu, pelanggaran pidana tidak boleh dibawa ke Mahkamah Konstitusi, meskipun terkait proses pemilu. Karena Mahkamah Konstitusi bukan peradilan pidana. Ini yang pertama.
Kedua, pelanggaran pemilu juga dapat terjadi karena penyelenggara pemilu melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penyelenggara pemilu bukan saja KPU (Komisi Penyelenggara Pemilu) dan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu). Tetapi secara luas juga termasuk pemerintah, dalam hal ini Presiden, sebagai penanggung jawab akhir penyelenggaraan pemilu.
Kalau ada indikasi penyelenggara pemilu telah melakukan pelanggaran terhadap undang-undang, maka DPR dapat menggunakan hak konstitusinya untuk menyelidiki apakah benar telah terjadi pelanggaran.
Bahkan, dalam hal ini (ada indikasi pelanggaran undang-undang) hak menyelidiki DPR tersebut menjadi kewajiban konstitusi DPR untuk menyelidiki lebih lanjut dugaan pelanggaran undang-undang tersebut.
Hak menyelidiki DPR ini diatur di dalam konstitusi Pasal 20A, ayat (2): Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.
Hak angket DPR dijelaskan secara eksplisit di dalam Pasal 79 ayat (1) dan (3) UU No 17/2004 tentang MD3 (MPR, DPR, DPD, DPRD)
“Hak angket (sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b) adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.”
Pemilu dan pilpres jelas masuk kategori, “berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”, sehingga sudah memenuhi persyaratan bagi DPR untuk menjalankan hak angket.
Oleh karena itu, pendapat Yusril bahwa penyelidikan kecurangan pemilu harus melalui Mahkamah Konstitusi tidak bisa diterima, dan melanggar Hak Konstitusi DPR untuk menyelidiki pelaksanaan dan/atau kebijakan pemerintah yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Semoga DPR dapat segera menjalankan tugas dan kewajiban konstitusinya, termasuk menggulirkan hak angket pemilu curang.
Karena DPR berkewajiban menegakkan hukum dan konstitusi.
[***]