KedaiPena.Com-Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI bisa memutuskan Pemilu 2024 tidak sah, diulang hingga mendiskualifikasi pasangan calon (paslon). Bahkan DPR RI disebut dapat menggelar Pemilu ulang tanpa harus melalui proses di Mahakamah Konstitusi (MK).
Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti menegaskan DPR RI bisa mengambil sikap tegas melakui mekanisme hak angket. Bahkan, kata dia, keputusan DPR untuk melakukan diskualifikasi dan Pemilu ulang harus dijalankan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
“DPR bisa memutuskan pemilu diulang tanpa harus melalui proses ke Mahkamah Konstitusi, karena merupakan keputusan DPR sebagai institusi,” kata Bivitri saat diwawancara mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad pada Podcast “Speak Up” yang tayang di kanal Youtube, dikutip Senin,(4/3/2024).
Bivitri menjelaskan, hasil hak angket bisa dua kemungkinan, yakni DPR merekomendasikan pemilu ulang karena terbukti kecurangan secara terstruktur, sistematif, dan massif (TSM) dan pemakzulan presiden.
Namun, kata dia, untuk memakzulkan presiden tidak cukup hanya rekomendasi, harus dilanjutkan ke hak menyatakan pendapat (interpelasi), dan dibawa ke MK.
Jika MK menyatakan presiden bersalah, maka MPR akan menggelar sidang. Tapi, untuk memberhentikan presiden harus memenuhi kourum yakni 2/3 dari anggota harus hadir dan dari yang hadir harus ada persetujuan 2/3 anggota.
Pemeran pada film dokumenter “Dirty Vote” ini mendorong agar parpol menggulirkan hak angket untuk membuat terang benderang dugaan kecurangan pemilu sejak dari masa sebelum pemungutan suara hingga setelah pemungutan suara.
Dia menekankan bahwa tujuan hak angket bukan untuk memakzulkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan bukan untuk menjegal Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, melainkan untuk mencegah terjadinya kecurangan-kecurangan pada pemilu berikutnya.
Lebih lanjut, Bivitri mengatakan, dugaan kecurangan TSM telah muncul pasca-pemilu pada Orde Baru, tetapi belum pernah terbukti. Bobot dugaan kecurangan pemilu pada tahun ini luar biasa besar, dibandingkan kecurangan pada pemilu-pemilu sebelumnya.
Hal ini, kata dia, terbukti pada pembusukan MK, yang dilakukan orang dalam yang memegang kekuasaan.
“Kita bukan mau menjegal paslon tertentu, tetapi untuk mengoreksi presiden sebagai pemeang kekuasaan tetinggi di negeri ini, seakan-akan bisa saja presiden melakukan politik gentong babi, bagi-bagi bansos. Ini merusak demorasi, maka hak angket harus dilaksanakan untuk membuat terang TSM,” bebernya.
Dia mengingatkan, jangan sampai budaya feodal dilestarikan, menganggap presiden seperti seorang raja dan dikultuskan serta bisa melakukan abuse of power yang pada akhirnya akan memunculkan otokratisme.
Dosen pada Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera ini mengatakan, otokratisme berlangsung pada masa pemerintahan Jokowi karena pemimpin tidak bisa dicek atau diawasi. Padahal, demokrasi yang baik adalah adanya oposisi di dalam menjalankan pemerintahan.
“Hak angket bisa saja tidak sampai ke pengadilan tapi proses politik harus ada, kekuasaan itu harus bisa diawasi, ini poin penting dalam demokrasi,” ujarnya.
Lebih lanjut, Bivitri menuturkan, presiden bisa dibawa ke persidangan bila diduga melakukan penyuapan, korupsi, dan perbuatan tercela, sehingga tidak ada impunitas.
Laporan: Sabilillah