KedaiPena.Com – Ketua Yayasan Pendidikan Perbanas (YPP) Ahmad Siddik Badruddin, mengatakan industri perbankan harus siap untuk menghadapi era industri 4.0.
Ahmad Siddik menjelaskan bahwa kesiapan tersebut dapat dilakukan oleh para pelaku industri perbankan dengan menerapkan ‘digitace on processing’.
“Tidak hanya itu mereka juga harus tetap relevan untuk bersaing dengan perusahaan non banking yang memang sekarang sudah masuk ke domain bank,” ujar dia saat ditemui oleh awak media dalam acara wisuda Perbanas Institute, di Jakarta Convention Center (JCC), Senin (4/2/2019).
Meski demikian, Ahmad Siddik menilai, bahwa industri perbankan di Indonesia sedianya sudah sangat siap atas situasi era industri 4.0 tersebut.
Kesiapan tersebut, kata Ahmad Siddiq, ditunjukan melalui keamananan jumlah nasabah serta proses yang sudah stabil dam produk-produk yang belum dimiliki oleh ‘financial technology’ atau ‘fintech company’.
“Tapi kita harus mengubah bagaimana ‘do the bisnis in the future’ termasuk sumber daya manusia (SDM) dan teknologi,” papar dia.
Industri perbankan, lanjut Ahmad Siddiq, juga harus siap mengantisipasi perubahan yang diinginkan para ‘costumer’ bank selama ini. Tentunya mereka ingin semakin dipermudah dalam proses transaksinya.
“Artinya perbankan juga harus mereview kembali kedepanya kebutuhan dari custermes service apa di era 4.0. Misalnya dalam di depan tidak mengharapkan ke kantor cabang misalnya. ‘Costumer’ bank tidak harus ke bank tapi prosesnya bisa melalui ‘internet banking’,” jelas dia.
Edukasi Soal Fintech
Sementara itu, pengurus BPH Yayasan Pendidikan Perbanas, Aviliani mengatakan, edukasi kepada masyarakat soal keberadaan ‘fintech’ harus terus dilakukan. Sebab, hingga saat ini masih banyak masyarakat yang belum mengetahui soal ‘fintech’ yang memiliki izin atau tidak.
“Masyakarat perlu diedukasi soal keberadaan ‘fintech’ yang sudah ada izin dan yang belum. Karena banyak masyarakat yang belum mengetahui hal itu,” ujar Aviliani di kesempatan yang sama.
Ia menuturkan bahwa selama ini masyarakat hanya melihat kemudahan yang diberikan oleh keberadaan ‘fintech’ tersebut. Masyarakat, hanya melihat keuntungan sesaat dari ‘fintech’ tersebut.
“Masyarakat kurang edukasi, asal bunganya tinggi, asal dapatnya banyak duit langsung masuk. Padahal resikonya tinggi. Nanti kalau sudah rugi, protesnya ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK),” papar Aviliani.
Dia pun menerangkan bahwa dari 325 ‘fintech’ yang ada di Indonesia selama ini. Hanya ada sekitar 35 ‘fintech’ yang berizin.
“Dari 325 yang baru dapat izin fintech hanya 35. Jadi kalau ‘fintech’ belum jelas. sebenarnya OJK harus mewaspadai ini,” tandas Aviliani.
Laporan: Muhammad Hafidh