WAKTU Presiden Joko Widodo alias Jokowi memutuskan gas Masela dikelola di darat, ternyata ‘magnitude’-nya memang besar sekali.
Masyarakat Ambon dan Kepulauan Maluku sekarang sedang dilanda oleh euforia, oleh optimisme dan harapan baru berupa perbaikan nasib kehidupan yang lebih baik, yaitu gas Masela akan memberikan manfaat lanjutan untuk kesejahteraan masyarakat di sana.
Tujuh belas tahun lalu, saya pernah terbang ke Ambon. Dari jendela Hercules untuk pertama kali saya lihat Kepulauan Maluku. Kesan pertama saya: itulah salah satu untaian zamrud khatulistiwa, yang penuh dengan kilauan air mata.
Waktu itu saya datang sebagai wartawan yang ikut rombongan tentara untuk meliput peristiwa kerusuhan yang terjadi di Ambon.
Akhir April lalu saya datang lagi ke wilayah yang oleh Ibnu Batutah disebut sebagai Aljazirah Almuluk, Tanah Raja-Raja, itu. Dari kata Almuluk kemudian terbentuk kata Maluku. Kali ini saya datang sebagai ‘man on the street’ untuk mendengar degup jantung kehidupan rakyat di sana.
Waktu saya tiba ada beberapa hal yang menarik perhatian saya. Pertama, media massa lokal sedang ramai menyiarkan rencana kunjungan Menko Maritim dan Sumberdaya Dr Rizal Ramli yang akan memberikan ceramah di Universitas Pattimura, Ambon.
Tema ceramah yang merupakan kuliah umum tersebut diberi topik mengenai paradigma baru pemanfaatan ladang gas abadi blok Masela untuk pengembangan wilayah Maluku khususnya dan Indonesia Timur umumnya.
Yang kedua, poster dengan foto Menko Maritim dan Sumberdaya Dr Rizal Ramli dalam ukuran besar betebaran dimana-mana, sejak jalan raya dari Bandara, tengah kota, sampai sudut-sudut kota Ambon.
Tokoh penggerak perubahan ini memang sangat pantas mendapat sambutan seperti itu, sebuah sambutan yang walaupun terbilang sangat sederhana tetapi terasa hangat dan punya makna yang sangat besar, karena selama ini Rizal Ramli adalah orang yang berdiri paling depan dalam persoalan gas Masela.
Dia tokoh yang paling lantang, jelas, dan berani menyuarakan keberpihakan kepada masyarakat Maluku (kawasan Timur Indonesia) agar gas Masela didedikasikan untuk kesejahteraan Maluku dengan pengelolaan di darat, dimana hal ini sangat sejalan dengan keinginan Presiden Joko Widodo.
Yang ketiga, masyarakat Ambon mulai dari lapisan bawah sampai kalangan atas rupa-rupanya sudah penasaran ingin melihat Rizal Ramli benar-benar hadir di kota mereka, dan harapan mereka syukur-syukur Rizal Ramli bisa berkeliling Maluku dan mampir ke kawasan di sekitar blok Masela. Ini bukanlah cerita isapan jempol belaka.
Waktu saya datangi kawasan Jalan Pasar Merdeka, kota Ambon, buat cari makan siang yang dilanjutkan dengan memotret poster-poster Rizal Ramli yang ada di kawasan itu, tiba-tiba saya ‘’ditegur’’ tukang becak yang lagi mangkal.
Dia tanya kenapa saya memotret poster Rizal Ramli. Saya jelaskan bahwa Menko Rizal Ramli besok akan datang ke Ambon, mengunjungi Pantai Liang untuk sebuah acara. Tukang becak ini dalam dialek setempat kemudian berbicara dengan teman-temannya sesama tukang becak.
Dan selanjutnya mereka mengatakan kepada saya bahwa dia dan teman-temannya ingin sekali datang ke Pantai Liang untuk melihat Rizal Ramli, mereka ingin mendengarkan lebih banyak lagi tentang Masela dari Menko Perekonomian di era Presiden Gus Dur itu.
Kemudian Di Universitas Pattimura saya berkenalan dengan seorang guru besar filsafat, Profesor Dr Aholiab Watloly. Orangnya sederhana dan ramah.
Waktu kami sama-sama menyanyikan lagu Indonesia Raya saat pembukaan kuliah umum Menko Maritim Rizal Ramli, Profesor Watloly berdiri di sebelah saya, suaranya merdu dan vokalnya mantap sekali.
Waktu selesai bernyanyi dia berkata bahwa Maluku sangat perlu tokoh seperti Rizal Ramli, sebab dia khawatir tokoh yang benar-benar menjadi penyambung lidah rakyat Maluku sekarang tidak ada. Saat mengatakan ini saya lihat mata Pak Profesor seperti menangis.
Ketika memberikan sambutan pada acara pramuka madrasah di Pantai Liang, Kecamatan Salahutu, Maluku Tengah, para pejabat/elit lokal setempat ikut hadir, termasuk Gubernur Maluku Said Assegaf. Saya duduk di belakang.
Waktu Rizal Ramli berbicara dengan gayanya yang rileks dan dengan ciri khas ‘story telling’-nya mereka mengangguk-angguk seperti mendapatkan sebuah pencerahan yang benar-benar membuka ‘mindset’ dan paradigma.
Antara lain Rizal Ramli mengajak agar kita mampu menjadi bangsa pemenang dan mampu mengejar berbagai ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain di dunia.
Nah, soal gaya pidato dengan ciri khas story telling yang kerap dibawakan oleh Rizal Ramli ini kadang-kadang saya melihat ada kemiripan dengan Bung Karno. Ini bukan berlebihan.
Sukarno kalau berpidato memikat dan mengikat massa dengan gaya bercerita, berkisah, berkisah soal sejarah, soal budaya, semangat zaman, tokoh wayang, soal Mahabarata, Ramayana, dan seterusnya, bahkan soal-soal kecil yang punya makna besar, yang semuanya itu tujuannya untuk memberikan motivasi, membangun kesadaran, memberikan semangat.
Sebenarnya Rizal Ramli bukan cuma mengajak kita untuk mengubah paradigma dalam hal pengelolaan sumber daya alam, seperti yang sering dikatakannya bahwa selama ini kita hanya ‘’sedot-ekspor’’ belaka.
Lebih dari itu Rizal Ramli mengajak kita untuk mengubah paradigma lama yang mengingkari kenyataan Matahari Terbit Dari Timur. Selama ini dikesankan Matahari Terbit Dari Barat, yaitu dengan memprioritaskan pembangunan di wilayah Barat Indonesia saja.
Post Nubila Lux…Habis Gelap Terbitlah Terang. Di Timur Matahari Mulai Bercahaya.
Oleh Jurnalis Senior Arief Gunawan Rachmat