KedaiPena.Com – Dokter Ramah Doyan Mendaki atau lebih dikenal dengan Dorayaki, merupakan sebuah komunitas, wadah berkumpulnya para dokter yang memiliki hobi terhadap pendakian gunung dan petualangan alam bebas.
Komunitas ini terbentuk pada tanggal 25 Mei 2013, tepat setelah pendakian bersama di Gunung Merbabu yang dilakukan oleh 9 orang mahasiswa Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Gajah Mada (UGM) Angkatan 2010.Â
Sebuah pendakian yang memberikan pelajaran tentang betapa pentingnya persiapan fisik, mental, logistik dan peralatan yang baik sebelum mendaki gunung.
Pada saat itu, dengan peralatan dan persiapan seadanya, mereka memberanikan diri mendaki gunung Merbabu melewati Jalur Chuntel.Â
Awal pendakian sudah mulai berkabut, dan kira-kira jam 20.00 malam, 23 Mei 2013. Mereka dihajar hujan deras hingga memutuskan untuk membangun tenda tepat di Pos 2.Â
“Saat hujan mulai mereda, kami keluar sejenak untuk masak dan membereskan barang-barang yang masih tergeletak di luar tenda. Maklum, hujan amat deras hingga kami hanya sempat memikirkan badan masing-masing saja,” kata salah satu penggiat Dorayaki, dr Ady saat berbincang dengan KedaiPena.Com, belum lama ini.
Pada pagi harinya, cuaca mulai cerah, mereka keluar tenda dan terkaget, betapa hancurnya tenda ditempati semalaman. Ada frame yang tidak lengkap, ‘fly sheet’ yang tak terpasang dengan baik, tenda bocor dan lain-lain. Sungguh persiapan yang sangat kurang.Â
“Apalah daya, kami pun memasak mie, dan makan roti. Persiapan logistik pun hanya mie dan roti,” kata dia lagi.
Setelah makan, tujuh anggota tim mendaki ke puncak. Sementara dua lainnya di tenda, karena ada anggota yang sakit. Dengan bekal mie dan roti lagi, dan juga jas hujan serta air minum seadanya, mereka pun mendaki ke puncak.Â
“Pendakian ke puncak lancar-lancar saja, cuaca baik, kondisi mental dan fisik pun kembali, karena pemandangan Gunung Merbabu yang sangat indah,” Ady mengenang.
Tepat sebelum tanjakan terakhir ke puncak Kenteng Songo, tiba-tiba kabut datang dan gelap sekali, sepertinya akan hujan. Benar saja, tepat setelah semua anggota sampai di puncak, gerimis mulai turun.Â
“Akhirnya secara cepat teman kami, dr. Ragil menyuruh kami berfoto dulu agar ada kenang-kenangan di puncak, memakai jas hujan, makan sebentar, lalu turun kembali ke ‘camp site’,”sambungnya.
Diperjalanan turun, mereka sangat kesulitan karena hujan yang sangat deras dan kondisi jalan yg sangat licin. Tepat di jembatan setan, orang-orang menyebut seperti itu karena jalurnya yang terjal dan sempit, tim dihajar badai. Angin yang sangat kencang, sampai-sampai serasa ingin melayang jika berjalan terlalu cepat.Â
“Salah satu teman kami, dr. Nindy mulai menampakan gejala hipotermia, secara bergantian kami menopang tubuhnya. Tidak ada pilihan, kita harus tetap jalan, karena jika berhenti, tubuh akan berhenti memproduksi panas, hingga semua tim akan meninggal karena penyakit yang sama,” cerita dia.
Untungnya di Pos 4 Jalur Chuntel ada bekas bangunan ‘tower’ pemancar sinyal telepon, sehingga diputuskan masuk ruangan bangunan itu meski ruangan yang sangat kotor, penuh sampah, berbau pesing.Â
“Kami tak punya pilihan, fisik dan mental kami sudah hancur. Saya memutuskan untuk turun ke tenda dan mengambil pakaian ganti, SB (‘sleeping bag’), dan makanan sisa, serta memberitahu anggota tim di Pos 2 agar mencari bantuan jika sampai keesokan pagi kami bertujuh tidak sampai di bawah (Pos Perizinan),” ujarnya.
Di dalam ruangan, anggota tim saling menghangatkan satu sama lain, sambil berdoa. Setelah 2 jam, akhirnya dr. Ady kembali dengan membawa baju ganti SB dan makanan, sambil menangis memeluk dr. Nindy. Karena dia yang meminta ijin ke orang tua dr. Nindy agar diberikan ijin mendaki gunung.Â
Malam terasa begitu panjang, mereka kedinginan, gemetaran, tak bisa tidur, kami saling berpelukan, sambil berdoa dr. Nindi baik-baik saja, dan kami semua tidak pulang dalam kantung oranye milik BASARNAS. Kesulitan hidup malam itu masih membekas hingga sekarang.Â
Saat itulah tercetus ide untuk membuat komunitas ini. Komunitas Dorayaki yang belajar banyak dari kejadian Gunung Merbabu tentang persiapan fisik yang baik, persiapan logistik dan peralatan yang baik, dan lainnya.
Pada intinya, Dorayaki lahir sebagai tempat berkumpulnya dokter-dokter yang memiliki jiwa petualang, mental dan fisik yang kuat, serta jiwa sosial yang tinggi. Mereka prihatin, sekarang banyak dokter yang lemah, baik dalam fisik, mental, maupun jiwa sosialnya, serta takut ditempatkan di tempat-tempat terpencil di Indonesia.Â
“Kami berjanji akan menjadi dokter yang siap dalam kondisi apapun, karena gunung dan alam senantiasa mengajarkan kami untuk menjadi manusia yang kuat,” pungkas dia.
Laporan: Irwan Nopiyanto