KedaiPena.Com – Ambang batas pencalonan presiden kembali digugat. Kali ini yang menggugat adalah kumpulan aktivis pergerakan, aktivis dakwah dan para purnawirawan TNI. Mereka adalah Bennie Fatah Akbar, Adang Suhardjo SE, DR. Marwan Batubara Msc dan Ali Ridhok (Aldo). Gugatan dilakukan pada Jumat lalu.
Bennie Fatah Akbar mengatakan, negeri ini milik bangsa Indonesia, bukan milik orang perorang, sehingga UUD 1945 pasal 6A ayat 2 mengamanatkan bahwa dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden harus diusulkan oleh partai politik dan atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum.
“Sehingga tidak perlu ada pembatasan dengan presidential treshold 20- 25 persen, sebagaimana termaktub dalam Undang Undang no 7 tahun 2017 (Undang Undang Pemilu) pasal 222 ayat 1. Presidential treshold bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 yang kedudukannya lebih tinggi dari undang-undang yang dibuat belakangan dan hanya untuk kepenting ansesaat kelompok tertentu,” tegas dia dalam keterangan yang diterima Redaksi, Minggu (6/2/2022).
Ia berpendapat aturan syarat pencalonan presiden dipasal 6A ayat (2) UUD 1945 bukan open legal policy. Dengan demikian, UU Pemilu tidak boleh memasukkan presidential threshold sebagai syarat pencalonan presiden karena tidak diatur dalam UUD 1945.
Aturan dalam pasal 222 UU Pemilu telah mengamputasi hak sebagai warga negara untuk mendapatkan capres sebanyak-banyaknya. Selain itu, aturan presidential threshold juga dinilai tidak adil terhadap partai partai peserta pemilu. Seharusnya semua parpol punya hak yang sama dalam mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden.
“Dengan ambang batas pencalonan presiden, partai politik mengabaikan kepentingan masyarakat untuk mendapatkan sebanyak-banyak calon pemimpin bangsa dan justru mengakomodir kepentingan pemodal (oligarki). Maka meminta MK untuk menghapus pasal tersebut,” lanjut dia.
“Kami menyampaikan gugatan untuk menghapus ambang batas pencalonan presiden, kami ingin pemilu berikutnya digelar tanpa syarat minimal dukungan partai dalam mengajukan calon presiden. Adalah hak setiap partai politik peserta pemilu untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden, tetapi telah dirampas oleh Undang-undang yang kedudukan di bawah UUD 45,” tambah dia.
Setiap UU yang kedudukannya lebih rendah hirarkinya, tidak boleh merampas hak setiap partai politik yang sudah diberikan oleh konstitusi.
Kalau itu terjadi, tambah dia, maka UU itu menjadi inkonstitusional atau batal demi hukum.
“Harapan kami, para hakim konstitusi berpihak pada rasa keadilan masyarakat karena hadirnya pemimpin yang adil bagi rakyat Indonesia akan dimulai dari bagaimana cara seseorang pemimpin itu dipilih,” tandasnya.
Laporan: Muhammad Lutfi