KedaiPena.com – Pemecatan mantan Menteri Kesehatan dr. Terawan dari keanggotaan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) telah menimbulkan banyak pro dan kontra di masyarakat. Karena, saat ini IDI menjadi satu-satunya organisasi profesi dokter yang ada dan memiliki kewenangan untuk merekomendasikan seorang dokter untuk dapat berpraktik. Selain itu, dr. Terawan dianggap memiliki kemampuan untuk berkontribusi dalam aspek kesehatan di Indonesia.
Guru Besar Biologi Molekuler Universitas Airlangga, Prof. Dr. C.A. Nidom, drh, MS, mengaku prihatin dengan kasus pemecatan dr. Terawan oleh IDI.
“Sebagai pribadi maupun sebagai sejawat beliau dalam riset dan gagasan kesehatan serta sebagai masyarakat yang menggunakan teknologi hasil inovasi dr. Terawan, saya merasa keputusan itu sangat disayangkan dan memprihatikan,” kata Prof. Nidom saat dihubungi, Senin (28/3/2022).
Ia mengakui bahwa dirinya memang tidak lah satu profesi dengan dr. Terawan tapi memiliki kesamaan gagasan dalam hal riset.
“Meski saya berbeda profesi tapi dalam riset mempunyai gagasan-gagasan tentang bidang kesehatan yang sejalan. Walaupun, mungkin ide atau gagasan tersebut kurang lazim pada perbendaraan keilmiahan kita, sehingga mungkin belum bisa dipahami secara baik oleh kita semua,” ucapnya.
Ia menyatakan tidak akan menilai apakah benar atau tidak keputusan, tapi menerapkan keputusan pemecatan dr. Terawan di masa pandemi ini berpotensi untuk menimbulkan efek domino.
“Keputusan itu menurut saya kurang tepat. Karena dilakukan disaat masyarakat masih menghadapi pandemi yang berpotensi menimbulkan efek dominonya kemana-mana,” ucapnya lagi.
Keputusan pemecatan permanen ini, lanjutnya, seperti hukuman mati bagi seorang dokter. Karena untuk mengurus SIP (Surat Izin Praktik) memerlukan rekomendasi IDI, sebagai satu-satunya organisasi profesi dokter saat ini.
“SIP ini kan terkait dengan keberlangsungan praktik. Bagaimana atau kemana masyarakat yang membutuhkan layanan teknologi kesehatan yang dikembangkan oleh Dr.Terawan. Jangan masyarakat dibuat bingung. Karena, mungkin IDI tidak merasakan langsung kebutuhan teknologi kesehatan tersebut. Tapi masyarakat yang sudah merasakan teknologi tersebut ribuan,” tutur Prof. Nidom.
Oleh karena, ia menghimbau kepada pemerintah, DPR hingga lembaga terkait untuk mencari jalan keluar agar keputusan tersebut tidak berdampak pada perkembangan teknologi dan pelayanan kesehatan.
“Saya mohon agar keputusan tersebut dapat ditinjau kembali atau ditunda sampai pandemi selesai. Dan saya juga meminta kepada masyarakat agar tidak mengaitkan masalah ini ke aspek non kesehatan, seperti dikaitkan ke istilah kartun dan cebong. Selama ini dr. Terawan yang kristiani dan saya muslim yang juga pengurus ICMI Jawa Timur, tetap harmonis. Terutama dalam riset dan gagasan untuk mewujudkan terobosan menuju masyarakat yang lebih sejahtera,” pungkasnya.
Laporan: Natasha