KedaiPena.com – Guru Besar Universitas Paramadina, Prof Dr Didin S Damanhuri menyatakan pada periode kepemimpinan kedua Jokowi, telah dibangun semacam new otoritarian, yang dikawinkan dengan kartel ekonomi, lalu negeri ini terpenjara dengan mandegnya demokrasi yang tidak efektif, dan perekonomian Indonesia terancam oleh midle income trap.
“Sembilan tahun terakhir ini, berdasarkan pengamatan telah muncul lima gejala new otoritarianisme. Yang pertama, diawali oleh produksi narasi yang berdampak pada pembelahan, seperti isu intoleransi, radikalisme dan lain-lain. Hal itu merupakan pilar diawalinya membangun sebuah new otoritarianisme,” kata Prof Didin, dalam Evaluasi Akhir Tahun, Bidang Ekonomi, Politik dan Hukum, Universitas Paramadina, ditulis Selasa (19/12/2023).
Kedua, lanjutnya, instrumen hukum juga telah dibangun untuk melumpuhkan lawan politik.
“Gejala itu telah diamati secara empirik dan didukung oleh beberapa riset. KPK atau Kejagung akan dipakai sebagai instrumen untuk melumpuhkan lawan politik dan menyelamatkan kawan aliansi,” ucapnya.
Sebagai contoh adalah kasus Harun Masiku yang tidak kunjung ditangkap, padahal secara teknis bisa dengan mudah dilakukan penangkapan. Tetapi kepada lawan politik, dengan gampang akan ditangkap dan diadili.
Contoh lainnya, dalam kasus kelangkaan minyak goreng, meski telah ditemukan enam kekuatan mafia CPO yang melakukan ekspor CPO ilegal sesuai bukti valid yang sudah ditemukan oleh KPPU, yang sebetulnya sebagian diwajibkan untuk mensuplai kebutuhan dalam negeri, ternyata yang dipecat adalah menteri yang sudah menemukan adanya gejala mafia minyak goreng. Kejaksaan Agung lalu menetapkan tersangka yang sebetulnya bukanlah pelaku utama.
“Ketiga, adanya penggunaan buzzer yang dibiayai oleh APBN untuk membunuh suara-suara kritis civil society, politisi di luar pemerintahan dan lain-lain. Dan itu persisten dilakukan bahkan sebelum periode kedua, di mana suara kritis dibungkam oleh UU ITE dan lawan politik langsung dilaporkan. Untuk perilaku sama oleh kawan aliansi malah aman-aman saja,” ucapnya lagi.
Gejala keempat adalah matinya fungsi check and balances dengan membangun 81-85 persen koalisi gemuk di DPR, dan juga terlibatnya enam parpol yang mendukung kekuasaan dan sangat efektif untuk mengamankan policy pemerintah untuk membangun infastruktur besar-besaran.
“Kereta cepat Jakarta-Bandung yang semula dimenangkan proyeknya oleh Jepang, tiba-tiba dialihkan ke Cina dengan pengaruh seorang petinggi pemerintahan, dan DPR diam saja. Cost overrun dari kereta cepat diterima begitu saja, dan ditanggung oleh APBN, dan sekarang Indonesia terjebak untuk mencicilnya selama 30 tahun,” kata Prof Didin lebih lanjut.
Gejala kelima, pembangunan infrastruktur, IKN dan hilirisasi yang katanya warisan untuk negeri, padahal ketiganya masih sangat bisa diperdebatkan secara kritis.
“Contohnya dalam pembangunan smelter dari puluhan perusahaan smelter, ternyata dominasi perusahaan-perusahaan China sangat nampak, dan hampir melumpuhkan perusahaan nasional. Hilirisasi rupanya untuk menopang industrialisasi Cina karena manfaatnya untuk ke dalam negeri sangat kecil, termasuk datangnya TKA-TKA Cina,” pungkasnya.
Laporan: Tim Kedai Pena