KedaiPena.com – Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan suatu patokan hukum yang mengatur nilai-nilai secara universal dan merupakan suatu hal yang perlu direvisi mengikuti perkembangan zaman. Kalau ada pertentangan terkait isi, maka pemerintah perlu menjembatani dengan menyediakan waktu untuk menjelaskan kepada seluruh masyarakat, karena KUHP ini berlaku bagi seluruh warga Indonesia.
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Trisakti, Prof. Andi Hamzah menyatakan sejak awal berdirinya negara ini, pendiri negara telah menganggap perlu adanya hukum yang mengatur terkait penghinaan presiden.
“Seperti di Jepang, ada pasal penghinaan pada kaisar. Yang melakukan pengaduan adalah perdana menteri. Di Jerman juga ada, tapi kasusnya bisa diajukan ke pengadilan jika disetujui oleh presiden. Indonesia bisa saja meniru apa yang dilakukan Jerman. Jadi pasalnya tetap ada, yang penting adalah penerapannya,” kata Prof Andi dalam salah satu diskusi, ditulis Minggu (2/7/2022).
Ia juga menekankan bahwa penghinaan dan kritik itu sangat berbeda jauh. Sehingga, yang penting adalah pemahaman dari semua pihak.
“Sebagai contoh di Belanda, ada yang mengemukakan, Ratu terlalu sering keluar negeri sehingga terjadi pemborosan. Ini bukan penghinaan, ini kritik atas pengelolaan negara, tidak dihukum. Tapi ada yang mengemukakan dandanan ratu norak, seperti WTS, ini dihukum, karena menyentuh ranah pribadi,” ujarnya.
Prof Andi menyatakan antisipasi publik dapat dibuka dari sekarang selama sebulan, dipanggil semua pihak, dibicarakan lalu diwujudkan dalam RKUHP.
“Yang perlu diingat adalah jika memang disahkan, maka KUHP ini baru bisa diberlakukan tiga tahun setelah disahkan. Jadi kalau 2022, ya mulai berlakunya 2025. Pada masa ini, disusunlah aturannya,” ujarnya lagi.
Dan ia juga mengingatkan bahwa saat menyusun KUHP perlu juga mempertimbangkan perubahan – perubahan yang terjadi saat ini.
“Jadi panggillah pihak-pihak yang kompeten dan ahli dalam hukum pidana dan membandingkan dengan KUHP negara lain. Karena pada dasarnya, KUHP tersebut merupakan aturan pada hal yang bersifat universal. Kalau memang ada yang berbeda, itu kasusnya per negara. Setiap negara pasti memiliki satu aspek yang berbeda,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa