DIKISAHKAN suatu malam Khalifah Umar bin Abdul Aziz sedang menyelesaikan tugas. Tiba-tiba datang puteranya.
Umar bertanya tentang keperluannya urusan umat atau pribadi. Ketika dijawab urusan keluarga Umar memadamkan lampu di depannya, gelaplah ruangan.
Puteranya bertanya mengapa lampu dipadamkan? Jawab Umar karena engkau akan membicarakan masalah keluarga, sedangkan lampu ini menyala dibiayai oleh negara.
Lalu Umar mengganti dengan lentera milik keluarganya sendiri. Berbincanglah mereka.
Peristiwa di atas adalah pelajaran agama bagi pejabat negara. Mental amanah melekat. Bisa menjaga keuangan dan aset negara.
Pribadi dengan biaya pribadi, urusan negara lain lagi.
Pelajaran ini tentu terlalu “radikal” diaplikasikan kini, namun bisa diambil ibrah (pelajaran) bagi pejabat radikal yang seenaknya menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi dan keluarga. Korupsi terselubung (disguised corruption).
Banyak pejabat yang memanfaatkan rumah, mobil, atau fasilitas lain yang sebenarnya sama sekali tidak berkaitan dengan tugas kenegaraan. Keluar negeri kunjungan “dinas” bawa anak atau istri.
Tak sadar bahwa itu adalah penyimpangan. Kecuali yang dibawa dibiayai pribadi. Apalagi sampai si istri belanjanya pun dititipkan dari “belanja” APBD atau APBN.
Di Bandung Gubernur Ridwan Kamil sedang menjadi sorotan soal renovasi rumah dinas berangka Rp4 miliar lebih. Rp1,5 miliar konon untuk membuat kolam renang.
Alasan keperluan adanya kolam renang ini yang jadi masalah. Yaitu untuk mengobati sakit lutut yang dideritanya. Agar sehat dan segar dapat menunaikan tugas keliling Jawa Barat.
Sorotannya adalah di samping besaran biaya APBD, juga pembuatan kolam renang itu untuk hal “pribadi” sakit lutut. Sebab tidak semua Gubernur (sebagaimana selama ini) memerlukan kolam renang.
Tentu sebagai Gubernur ia telah menerima pendapatan khusus untuk biaya kesehatan. Kemanapun ia berobat. Semestinya bukan dana APBD yang digunakan. Rakyat saja pakai BPJS untuk meringankan. Mengapa Gubernur tidak?
Ada lagi informasi seorang dokter bedah di medsos katanya jika sakit lutut pengobatannya adalah arthroscopy atau arthrosplasty yang biaya maksimal 200 juta, bukan kolam renang Rp1,5 miliar. Ia mengkritik pembangunan ini. Itu urusan medik.
Nah kembali pada fasilitasi dinas atau pribadi kiranya para pejabat harus lebih apik dan hati-hati. Korupsi bukan dilakukan rakyat jelata yang tak punya apa apa tetapi oleh para pejabat yang bergelimang fasilitas.
Korupsi bukan karena kekurangan uang untuk diri atau keluarga akan tetapi karena keserakahan dan “mumpungisme”. Mumpung sarana ada dan terbuka untuk dapat “mencuri”. Cukup dengan tandatangan atau sedikit lobi.
Pak Gubernur perlu introspeksi. Posisi tinggi selalu menjadi perhatian publik. Baik berprestasi atau cuma ber-prestise. Tak perlu keluar keringat atau emosi berapologi atau berargumentasi. Baiknya terima kritik, berterimakasih dan perbaiki. Beres kan?
Oleh M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik, Tinggaal di Bandung