SATU abad yang lalu, Charles Darwin seorang naturalis terkenal dengan teori evolusinya, sudah menyatakan peringatannya seperti ini: “It is not the strongest of that survives, nor the most intelligent, but the one most responsive to change”.
Pernyataan yang dibuatnya berdasarkan pengamatannya terhadap kehidupan
spesies di alam itu, rasanya sangat relevan juga dalam konteks saat ini. Era
keemasan teknologi informasi, zaman digital, yang membuat kita hidup tanpa
batas jarak dan waktu.
Tidak terbayangkan kita hidup tanpa smartphone saat ini. Manusia modern hidup dan data pribadinya diserahkan mentah-mentah dalam genggaman ‘Profesor’ Google. Namun demikian, di Indonesia ragam tingkat perkembangan kebudayaan manusianya sangat tinggi.
Masih terdapat masyarakat yang hidupnya masih bergantung pada alam, berburu dan meramu. Di saat yang sama, di bagian lain, manusia hidup di era sangat modern dan hidup berkelimpahan.
Yang pasti, kita bersama merasakan dan semakin menyadari bahwa kita hidup di kepulauan dengan lempeng benua dan dasar samudera aktif. Negara dalam lingkaran sabuk gunung api dan ancaman tsunami.
Kesadaran ini tidak akan kita pahami pada 20-30 tahun yang lalu. Termasuk di dalam fenomena yang semakin mengglobal tentang ancaman sea level rise akibat pemanasan global.
Bagaimana nasib dan suara dari 43 negara kepulauan kecil di forum global COP
Climate Change?
Hujan dengan tingkat curahnya mencapai 310 mm/hari selama 10 jam di
dini hari 1 Januari 2020, telah melelehkan perbukitan di sebagian TN Halimun Salak dan bukit-bukit di sekitarnya yang menyapu ratusan hektar pemukiman di bantaran sungai dan daerah lembah persawahannya, mengakibatkan lebih dari 4.000 jiwa mengungsi.
Jembatan banyak yang putus anak-anak sekolah harus meniti jembatan kayu yang sangat riskan rontok diterjang banjir bandang yang bisa saja terjadi tiba-tiba seperti di sungai Kecamatan Cigudeg.
Perubahan-perubahan adalah keniscayaan. Demikian pula dalam semua organisasi, baik di birokrasi pemerintah, swasta, lembaga swadaya masyarakat, dan juga termasuk The Nature Conservancy.
Darwin sudah mengingatkan kita, yang
survive adalah mereka yang paling cepat merespons perubahan. Kita ingat di era 1998, sangat terkenal HP mungil ber-merk Ericsson. Tidak sampai 10 tahun ia harus bergabung dengan Sony menjadi Sony-Ericsson untuk bisa bertahan di pasar.
Era tahun 2000-an, mereka tersapu oleh HP sejuta umat si Nokia. Akhirnya Korea muncul dengan Samsung yang sangat fenomenal dengan sistem android-nya dan
sampai saat ini menjadi pesaing berat Iphone produk Amerika.
Saya membaca dalam artikel berjudul Hiring for Attitude oleh Eilen Rachman & Emilia Jakob (Kompas 26 Maret 2016). Kedua pakar tersebut menyatakan bahwa mereka yang memiliki “growth mindset” akan memfokuskan energi positif mereka
dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasi keterbatasan
mereka.
Mereka tidak takut bangun lebih pagi, berjalan lebih jauh, berusaha dua
kali libat dibandingkan dengan rekan-rekannya dan bahkan bangun lagi dengan
cepat bilamana mereka mengalami kegagalan.
Mereka yang memiliki “growth mindset” bukanlah mereka yang tidak
pernah merasa takut akan keterbatasan mereka, akan tetapi semata-mata lebih
karena mereka tidak membiarkan rasa takut itu menguasai mereka.
Nelson Mandela mengatakan, “I learned that courage was not the absence of fear, but the triumph over it. The brave man is not he who does not feel afraid, but he who conquers that fear”.
Menarik memperdalam konsep ini, seperti yang diulas oleh Carol Dweck dalam artikelnya berjudul “What Having a “Growth Mindset” Actually Means, yang dimuat dalam Harvard Business Review Special Issue, Winter 2019.
Ia menyatakan banyak orang rancu bahwa growth mindset itu sama seperti menjadi fleksibel atau open minded atau memiliki pandangan ke depan yang positif. Ini ia sebut sebagai
kerancuan pertama. Yang kedua, dinyatakan bahwa growth mindset adalah bukan sekedar hanya “praising and rewarding efforts”.
Sangat krusial memberikan reward bukan hanya terhadap usaha yang telah dilakukan tetapi juga terhadap learning and progress. Menekankan pada proses yang menghasilkan uji coba strategi baru,dan
mengkapitalisasi setback untuk maju lebih efektif.
Mengadopsi growth mindset saja
tidak serta merta hal-hal baik akan terjadi. Organisasi yang akan mewujudkan
suatu growth mindset harus bisa mendorong pengambilan resiko yang tepat,
mengetahui bahwa beberapa resiko tidak bisa diatasi.
Mereka memberikan reward pada staf yang banyak mengambil pelajaran walaupun suatu kegiatan atau proyek
belum bisa mencapai tujuannya. Akhirnya ia mengatakan bahwa suatu company yang memainkan “talent game” membuatnya lebih keras untuk orang mempraktikkan pemikiran dan laku growth mindset, misalnya dalam (1) berbagi
informasi, (2) kolaborasi, (3) inovasi, (4) mencari feedback, atau (5) mengakui kesalahan.
Pemikiran dari Carol Dweck rasanya cukup relevan bila kita sedang dalam proses transisi organisasi, seperti yang saat ini sedang terjadi dengan TNC di
Indonesia atau organisasi lainnya termasuk organisasi pemerintah di era yang berubah dengan cepat, dengan cara kerja yang sama sekali berubah. Namun
demikian, tidak mudah melaksanakan “laku” growth mindset dengan 5 jurus yang dikemukakan itu.
Pada era 1912 ketika komodo ditemukan pertama kali, berlanjut pada era
1970-an, eksplorasi alam fokus pada spesies karismatik. Badak Jawa di TN Ujung Kulon yang mulai populer mulai tahun 1822. Lalu di era 2020 ini, 40 tahun kemudian, isu-isu konservasi alam berubah sama sekali ke bioprospecting, biopiracy, konservasi lanskap.
Juga isu-isu hak asasi manusia, hak masyarakat hukum adat. Isu tata kelola, leadership, mainstreaming biodiversity ke dalam kebijakan nasional, perdagangan karbon, semua yang berbau ‘hijau’, mulai dari ecocampus, eco and smart city, pemanasan global, kabupaten atau provinsi konservasi, kolaborasi multi pihak, dan lain sebagainya.
Banyak bermunculan proposal riset yang mungkin juga dipengaruhi kepentingan berbagai negara maju, yang terus berubah. Salah satu contohnya 3P: People, Planet, Profit atau Prosperity. Maksudnya apa? Siapa yang diuntungkan dari semua visi baru atau mungkin juga bisa dikatakan sebagai jargon tersebut. Akhirnya membuat kita sering kali disorientasi atau bahkan dislokasi. Where to go and why?
Saya kira transisi organisasi adalah hal yang biasa. Yang tidak biasa adalah
bagaimana kita menyikapinya secara kritis, melakukan otokritik atau bahkan
menyediakan diri untuk dievaluasi secara terbuka.
Tetapi bagi saya juga akan sangat sulit untuk memberikan pendapat apabila tidak diberikan cukup ruang dan waktu untuk ‘menengok’ ke dalamnya atau paling tidak mengetahui dan mempelajari output yang pernah dihasilkan selama ini, dengan melakukan dialog
terstruktur dengan target grupnya.
Saya beruntung pernah diskusi di lapangan dengan beberapa pelaku,
dalam program SIGAP dan Hutan Desa Merabu di Berau. Beberapa tokoh lokalnya
kebetulan teman-teman saya dalam waktu yang cukup lama. Value yang dibangun oleh tokoh pelaku di lapangan mendorong terbentuknya kristalisasi nilai-nilai kekuatan TNC. Saya tahu ada proses yang panjang dalam uji coba suatu approach itu.
Ketika saya menjadi policy analist conservation Indonesia pada tahun 2001-2004, saya memahami bahwa pemerintah daerah harus didukung suatu pendampingan dalam waktu yang cukup lama untuk menyusun rasional (development) planning. Rasional berarti data dan informasi tidak boleh dipalsu.
Koleksi dan analisis data harus menggunakan the method and the best science yang ada. Maka, Wahjudi
Wardojo, penasihat senior TNC, mengatakan bahwa rasional planning itu tidak cukup.
Wahjudi seringkali menekankan perlunya menerapkan konsep “Development by Desain” dengan tahapan:
(1) Avoid – membangun di kawasan yang masih utuh (prestine habitat).
(2) Minimize – pembangunan pada wilayah hutan sekunder, HCV, koridor, APL yang masih utuh tutupan vegetasinya.
(3) Restore – daerah yang hutan yang terdegradasi, sempadan sungai, dan danau.
Konsep ini sedang diusulkan untuk mendesain tata ruang calon Ibukota
Negara (IKN) di Kalimantan Timur tersebut. Konsep tersebut sangat bagus dan menurut penulis diperlukan energi dan spirit yang disebut sebagai spirit “5K”, yaitu:
(1) Kepeloporan – menjadi yang pertama atau pionir untuk memberikan
contoh nyata suatu metode baru.
(2) Kepedulian – sikap mental yang pro
perlindungan environment.
(3) Keberpihakan – sikap mental melindungi mengayomi dan berpihak pada yang miskin, yang tidak bisa berbicara membela dirinya sendiri – para binatang dan hutan serta laut itu.
(4) Konsistensi – istiqomah dalam memperjuangan spirit 1-3.
(5) Kepemimpinan – ialah yang mengawal
perubahan dengan spirit 1-4 tersebut.
Ini hanyalah pendapat pribadi, mengamati dan mengalami sendiri mengurus kawasan konservasi, mulai dari Siberut, Leuser, NTT, dan sepanjang 4 tahun menjadi direktur pada perhutanan sosial.
Development by Design yang kata Wahjudi telah dilontarkan pertama
kali oleh Bapak Bangsa kita, Bung Karno ini patut untuk kita renungkan, terutama
oleh TNC dalam masa berbenah diri, menentukan arah organisasi dan cara yang
akan dipakai untuk mengarungi samudera perubahan di Indonesia.
Political will pegurus TNC, untuk meminta masukan, kritik, evaluasi ringkas, adalah suatu bukti ‘laku’ growth maindset yang tentu positif untuk kesehatan organisasi. Alangkah bagusnya bila dalam menyusun nilai-nilai organisasi dan perencanaan ke depan, para pihak juga dilibatkan untuk mengkritisi dan memberikan pendapatnya.
Rational Planning berarti juga mengandung nilai-nilai keterbukaan, transparansi dan untuk itu diperlukan sikap mental legawa dalam menerima kritik dan sikap kritis. Untuk itu, keterbukaan penting itu bukan hanya pada tahapan perencanaan, tetapi sepanjang pelaksanaannya dapat menerima masukan. Konsep Adaptive Collaborative Management atau ACM, mungkin dapat diujicobakan.
Semoga pendapat yang ringkas ini dapat memberikan insight bagi para
pendiri, adviser, direktur, dan semua staf yang bekerja di TNC. Menambah
semangat pentingnya proses pembelajaran organisasi untuk menjadi organisasi
pembelajar.
Organisasi yang semua unsurnya melakukan laku belajar dari pengalaman di masa lalu untuk melahirkan inovasi, terobosan, sambil mengembangkan nilai-nilai baru yang dapat merespons dengan cepat atas perubahan-perubahan yang terjadi. Menjadi organisasi yang memiliki nilai-nilai proactive, adaptive, dan growth mindset, mungkin menjadi pilihan cerdas
mempertimbangkan perubahan di tanah air yang penuh dengan kejutan ini.
Oleh Dirjen KSDAE Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Wiratno. Tulisan disampaikan pada Diskusi “Partnership for a Brighter Future”, Yayasan Konservasi Alam Nusantara, Jakarta 29 Januari 2020