KedaiPena.Com – Juru Kampanye Hutan Greenpeace Annisa Rahmawati meminta agar pada tahun 2018 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tidak boleh abai akan potensi kebakaran hutan dan bencana ekologis akibat perubahan iklim. Sebab, hutan dan gambut Indonesia adalah paru-paru dunia serta penyangga iklim global dan penyelamat generasi kita.
“Keterbukaan, menjadi salah satu kunci dalam tata kelola hutan dan lahan di Indoensia, di samping kepemimpinan yang baik dan kapasitas pemerintahan di seluruh lini, tidak hanya KLHK,” ujar Annisa dalam perbincangan dengan KedaiPena.Com, Rabu (3/1/2018).
Tidak hanya itu, kata Annisa, janji perlindungan hutan dan gambut haruslah konsisten dan tidak boleh hanya di atas kertas dan pencitraan, serta harus menyeluruh di mana upaya mendorong bisnis ketimbang perlindungan hutan adalah pilihan yang sangat buruk.
“Semoga hutan dan gambut Indonesia tetap lestari, semoga Tuhan melindungi kita semua,” ujar Annisa.
Annisa juga meminta agar tahun 2018 pemerintah tepatnya KLHK dapat transparan dalam tata kelola sumber daya hutan dan lahan terkait tumpang tindih perijinan. Ketiadaan satu peta yang dapat diakses publik sebagai rujukan tata kelola, serta keengganan membuka data dan informasi penting kehutanan, menjadi salah satu penghambat.
Annisa mencontohkan dalam kasus sengketa informasi Greenpeace terhadap KLHK, di Komisi Informasi Publik (KIP) sejak September 2015 yang memohonkan informasi dan data peta berformat shapefile untuk kepentingan pemantauan dan pencegahan kebakaran hutan akhirnya mandek.
“Karena dimenangkan oleh KLHK Februari 2017, setelah KLHK kasasi ke PTUN. Meskipun di tingkat KIP dimenangkan oleh Greenpeace dengan hanya satu hakim memiliki dissenting opinion,” jelas dia.
Tidak hanya itu, lanjut Annisa, kasus lain yang dihadapi oleh Forest Watch Indonesia (FWI) terhadap Kementrian ATR/BPN untuk membuka informasi ke publik terkait data-data Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan Sawit, meskipun dimenangkan oleh FWI pada bulan Maret 2017 di tingkat MA, sampai sekarang keputusan MA tersebut tidak dijalankan oleh KLHK.
“Contoh kasus-kasus tersebut menunjukkan pada kita betapa sulitnya dan lamanya, serta berbelitnya prosedur mendapatkan data dan informasi publik baik dari Pemerintah pusat maupun daerah yang merupakan hak warga Negara,” beber dia.
“Padahal lambannya proses dalam konteks tumpang tindih ijin dan keterbukaan informasi ini akan menguntungkan pihak-pihak tertentu untuk melobi pelemahan regulasi, mediasi manipulasi izin, dan menyuburkan praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme di tingkat pusat maupun daerah,” pungkas Annisa.
Laporan: Muhammad Hafidh