Great Reset: Memaknai Kemerdekaan Bangsa Ditengah Tekanan COVID-19
Oleh Achmad Nur Hidayat | Pakar Kebijakan Publik UPNVJ (Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta) dan Pendiri Narasi Insitute
PEMERINTAH kembali memperpanjang pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Darurat atau Level 4, 3, dan 2 sampai 16 Agustus 2021. Bisa jadi langkah tersebut agar 17 Agustus nanti, masyarakat lebih memaknai hari kemerdekaan sebagai momentum kebangsaan yang paling penting dalam dua tahun terakhir sejak COVID19 menyebar.
Apakah akan diperpanjang atau direlaksasi PPKM darurat tersebut, yang pasti pada tanggal 16 Agustus menjadi tanggal penentuan nasib PPKM Darurat dan esok harinya 17 Agustus, makna kemerdekaan akan menjadi sesuatu yang beda dari tahun-tahun sebelumnya.
Bisa jadi rakyat senang karena di hari kemerdekaan relaksasi sudah diizinkan atau bisa jadi rakyat menjadi waspada karena di hari kemerdekaan dalam suasana prihatin karena varian delta masih tinggi.
Yang pasti prediksi momen tersebut akan menjadi prediksi yang paling ditunggu-tunggu publik.
Mungkin para pengambil kebijakan sangat menikmati suasana ini dimana ada perhatian tinggi dari publik yang menanti-nanti keputusannya namun menjadi salah kaprah apabila momentum tersebut hanya dijadikan ajang peningkatan popularitas dan kekuasaan.
Lebih parah lagi, bila pengambilan keputusan tersebut bukan didasarkan keputusan scientist namun keputusan politik agar rakyat senang meski varian delta masih merupakan ancaman terbesar kehidupan rakyat. Semoga tidak.
Makna Kemerdekaan dan Great Reset
World Economic Forum (WEF) memprediksi bahwa pandemi COVID19 akan menyebabkan disrupsi besar-besaran terhadap kehidupan manusia. WEF memulai kampanye perlunya kerjasama lintas kelompok untuk mengatasi hal tersebut melalui the Great Reset Initiative.
Belajar dari Pandemi COVID19, dunia menyaksikan terjadi perubahan secara mendasar bagaimana pengambilan keputusan secara tradisional tidak lagi berlaku.
Selama ini, pendekatan ekonomi dan keuangan menjadi sesuatu yang dominan dalam kebijakan publik bahkan saat pandemi COVID19 berlangsung banyak berbagai negara yang memprioritaskan ekonomi diatas penanganan kesehatan, bahkan banyak yang menuhankan aspek ekonomi akibatnya ekonomi gagal dan kesehatan gagal.
Negara yang sekarang terbebas COVID seperti Selandia Baru, Australia, Taiwan dan China menerapkan lockdown ketat dan mengenyampingkan ekonomi di awal pandemi akhirnya mereka menunjukan pemulihan ekonomi yang lebih cepat.
COVID19 telah menunjukan negara dengan tata kelola yang buruk dan mengabaikan keseimbangan pembangunan antara kesehatan dan ekonomi menjadi negara yang terburuk dalam penanganan COVID19.
Harus diakui pembangunan Indonesia dalam penanganan COVID-19 menunjukan Ketidakkonsistenan, ketidakcukupan dan kontradiksi dari berbagai sisi baik – dari sisi kesehatan, keuangan hingga energi dan pendidikan.
Harus diakui, Para pemimpin di dunia menemukan diri mereka di persimpangan jalan bersejarah, menjadi bingung mengelola tekanan jangka pendek terhadap ketidakpastian jangka menengah dan panjang. Mungkin itu yang dirasakan juga oleh Bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, dalam memaknai kemerdekaan 17 Agustus 2021, penting sekali untuk menyadari bahwa kebijakan yang timpang selama ini seperti eksploitasi sumber daya alam besar-besar, abai terhadap penyediaan fasilitas kesehatan publik, lemahnya kampanye hidup sehat dan tidak peduli pada aspek lingkungan, tidak menghormati kepada martabat kemanusiaan, condong kepada ukuran ekonomi dan keuangan semata.
Semua itu telah melahirkan ketidakseimbangan yang akhirnya menyebabkan COVID19 agresif menyerang manusia karena imunitas dan kekebalan kesehatan manusia terganggu.
Permasalahan COVID19 tersebut tidak dapat diselesaikan sendirian oleh Pemerintah. Pemerintah perlu pelibatan aktif dari aktor non pemerintahan, seperti ilmuan, akademisi, masyarakat sipil, LSM, berbagai komunitas dan relawan.
Para pemimpin seharusnya menyadari dalam dua tahun terakhir, tekanan dari COVID19 tidak juga mereda malah makin meningkat.
Tiga kebijakan yang djalankan pemerintah selama ini seperti percepatan vaksinasi, tracing-tracking dan isolasi terpusat memiliki kelemahan yaitu tidak melibatkan solidaritas dan kohesi sosial masyarakat yang baik. Semuanya seolah tiitk beratnya adalah organ pemerintah dan masyarakat hanya dijadikan objek kebijakan.
Misalnya, dalam program vaksinasi, masyarakat hanya dijadikan objek kebijakan. Prasyarat aktivitas ekonomi melalui kartu vaksinasi adalah baik namun tidak mencukupi untuk memasifkan vaksinasi karena sekali lagi kebijakan tersebut menjadikan masyarakat hanya menjadi objek yang harus divaksinasi. Pelibatan sosial yang melahirkan kohesi sosial belum terjadi optimal.
Begitu juga kebijakan isolasi terpusat terhadap individu yang terpapar COVID19 disejumlah daerah, melalui penyediaan fasilitas-fasilitas yang dikelola negara dan BUMN menyebabkan multiplier efek dan pengadaan hanya dinikmati oleh BUMN dan perangkat pemerintahan saja.
Dalam memaknai kemerdekaan di tengah tekanan varian delta ini harusnya pemerintah mengubah cara pandang pendekatan kebijakannya. Dari sentralistis menjadi pelibatan aktif sosial dengan harapan muncul solidaritas dan kohesi sosial yang tinggi.
Dengan begitu penanggan covid19 menjadi okestrasi indah dengan serangkaian pelibatan luas masyarakat dalam berbagai dimensi kehidupan tidak hanya ditingkat nasional namun juga ditingkat dunia.
COVID19 adalah pandemi dunia, sehingga para pemimpin Indonesia hendaknya juga aktif menawarkan wawasan bersama yang dapat menyelesaikan persoalan COVID secara global bukan seperti saat ini, masing-masing negara bekerja sendiri-sendiri untuk menyelesaikan persoalan pandemi dunia sehingga ada yang cepat pulih, ada yang progres pulih dan ada yang masih tertatih-tatih untuk pulih.
(***)