Artikel ini ditulis oleh Vary Situmorang, Bike Enthusiast, Ekspeditor Jakarta-Bali.
Selasa, 19 Oktober 2021 merupakan hari keempat perjalanan kami. Pagi cukup cerah menyambut kami dengan tubuh segar dan cukup beristirahat siap melanjutkan petualangan kami menuju Kota Pacitan. Om Sastra salah satu anggota Cyclopath yang tinggal di Yogyakarta menyempatkan diri untuk datang. Dia berboncengan dengan anaknya bersepeda dari Pakem ke Pakualaman tempat kami menginap.
Kehadiran Om Sastra membuat kami jadi makin semangat. Apalagi beberapa dari kami sempat dipijat beliau untuk memulihkan otot-otot yang cidera. Setelah sarapan kue-kue dan mempersiapkan sepeda dan briefing, pukul 06.30 kami melaju ke arah timur kota untuk mencicipi Soto Kadipiro yang legendaris.
Seusai mencicipi Soto Kadipiro, kami lanjutkan perjalanan ke selatan Kota Yogyakarta menyusuri jalan Imogiri menujur Wonosari. Kami berpisah dengan Om Sastra di persimpangan Pojok Benteng. Dari situ menuju Imogiri kami lalui santai sambil menikmati pemandangan khas pinggir Kota Yogyakarta.
Imogiri merupakan daerah yang terkenal dengan makam para raja keraton Yogyakarta. Juga terkenal sebagai salah satu destinasi kuliner sate klatak. Lanjut memasuki daerah perbukitan, jalanan mulai menanjak. Tanjakan panjang ini menjadi santapan pertama yang menantang di hari keempat ini.
Denyut jantung lagi-lagi harus kami pacu hingga ambang batas ditambah lagi panas mentari pagi itu. Pemandangan Bukit Bego di sebelah kiri jalan menjadi pemandangan yang menarik untuk kami nikmati sambil menahan asam laktat di otot-otot kaki. Kami sempat satu kali berhenti untuk regrouping sebelum tiba di ujung tanjakan.
Di ujung tanjakan Om Jay bahkan sempat merebahkan badan di atas aspal untuk sekedar melepas lelah. Beberapa saat kemudian kami lanjutkan perjalanan melewati Mangunan. Daerah hutan pinus yang menjadi salah satu destinasi favorit di daerah ini. Sebelum tiba di Mangunan, kami melewati warung tiwul ayu Mbok Sum favorit saya.
Sayangnya, kami tidak bisa singgah karena masih kenyang mempertimbangkan waktu juga. Perjalanan dari Mangunan menuju Kota Wonosari sangat menyenangkan. Kami disuguhi jalur yang menurun dan menanjak terjal silih berganti. Area perkebunan warga dan pedesaan dipadu dengan keramahan warga yang menyapa membuat kami hampir tidak merasakan lelah.
Tanah berpadu dengan gugusan batuan kapur yang merupakan gugusan karang dasar laut di zaman purba mulai tampak. Bahkan ada yang dijadikan rest area sederhana bagi yang melintas untuk beristirahat dan menikmati pemandangan. Sebelum tiba di Kota Wonosari, kami berhenti di sisi kiri jalan untuk makan di warung soto ayam sambil menikmati es dawet yang segar membuat letih dan dahaga kami sirna.
Dan akhirnya kami pun tiba di persimpangan menuju Kota Wonosari. Kami berbelok ke kanan menuju pusat kota. Jalan lurus, lebar dan mulus ini kami nikmati dengan santai sambil menikmati pemandangan kota meskipun hari makin terik. Kota yang terkenal dengan masakan khas sayur trancam ini terlihat lebih maju dari tiga tahun lalu terakhir kalinya saya singgahi.
Tiba di ujung Kota Wonosari, kami mengambil jalur ke arah Pacitan via Pracimantoro. Aspal mulus, lebar dan sepi dan terlihat masih gress menyambut kami. Di sebelah timur terlihat bukit kapur yang dibelah. Saya jadi teringat spot yang mirip ini di Pantai Melasti di Pulau Bali. Jalanan mulus ini merupakan Jalan Lingkar Selatan yang nantinya diharapkan dapat menghubungkan kota-kota di jalur pantai selatan Jawa.
Saking senangnya kami dengan jalanan ini, kami hanya mengayuh santai. Dan ketika jalanan menurun memasuki daerah Pracimantoro, kami berteriak kegirangan. Jalan ini layaknya surga bagi pesepeda. Sambil menikmati perjalanan, di kiri kanan jalan tampak area perkebunan warga. Bisa merasakan betapa gigihnya warga setempat memindahkan batu-batu karang di perkebunannya supaya lahannya bisa ditanami dengan baik. Lalu batu-batu itu dijadikan semacam pagar pembatas ladang.
Gugusan goa di perbukitan batu karang pun sesekali terlintas. Fenomena alam ini pun jadi topik diskusi yang menarik sambil mengayuh antara saya dengan Om David yang memang berlatar belakang profesi sebagai geologis. Kami pun larut dalam menikmati pemandangan dan jalur yang menyenangkan dan tiba di persimpangan jalan dengan petunjuk arah ke kanan menuju Kota Pacitan dan ke kiri merupakan lanjutan Jalur Lingkar Selatan menuju Kota Solo.
Meskipun jalannya tidak sebagus jalur lintas pantai selatan, namun tetap menyenangkan untuk dilalui. Tanjakan panjang di depan kami menanti untuk dilalui. Terlihat mobil truk membawa muatan cukup berat merayap berdampingan dengan kami. Raungan deru mesin truk berpacu seiring dengan denyut jantung kami yang kembali terpacu setelah santai menikmati jalanan menurun tadi.
Sore hari pun tiba dan mentari pun mulai perlahan kembali ke peraduannya. Melaju melewati perbukitan menuju perbatasan Provinsi Jawa Timur kala itu terasa lebih sunyi seiring dengan waktu sholat maghrib tiba. Perkampungan yang kami lewati saat itu hanya terlihat satu dua rumah warga diselingi perkebunan dan rindangnya kebun pohon jati.
Lalu rintik hujan pun lirih kembali menghujam bumi membasahi jalan yang kami lalui. Momen sunyi ini semakin membuat batin merasa makin dekat dengan Sang Pencipta dengan bersyukur dan merefleksikan diri. Betapa sebagai manusia tidak berdaya dihadapan Sang Pencipta meski sekuat apapun kita.
Larut melalui jalan sepi, sebuah gapura gelap tanpa penerangan terlihat megah di depan kami. Ya, benar ini adalah gapura bertuliskan selamat datang di Pacitan menandakan perbatasan Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Setelah beberapa saat kami berhenti perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur di Desa Cemeng, Kecamatan Donorejo tersebut, kami lanjutkan mengayuh ke Kota Pacitan.
Cukup lama mengayuh ternyata kami tidak kunjung sampai juga. Saat itu waktu sudah menunjukkan sekitar pukul 19.00, dan perut sudah terasa lapar. Namun demikian, kami tetap ingin makan besar nanti di Kota Pacitan. Dalam benak kami sudah terbayang aneka hidangan laut khas Pacitan. Jadi, kami hanya berhenti sejenak di sebuah warung angkringan untuk sekedar makan hidangan ringan dan minum susu jahe hangat.
Malam makin larut, kami tetap lanjutkan perjalanan melewati jalur Pringkuku. Jalur ini cukup ekstrim dengan turunan curam yang panjang dan dikenal rawan kecelakaan. Akhirnya kami pun tiba di turunan Mloko yang curam dan berbahaya. Butuh konsentrasi dan penerangan yang cukup untuk aman melalui jalan ini. Tuas rem kanan dan kiri bergantian saya tekan supaya piringan rem saya tidak terlalu panas.
Namun jalan panjang menurun ini pun belum juga berakhir ketika rem saya pun blong dan bahaya bila saya paksakan. Lampu mobil-mobil yang melintas menerangi jalan menikung makin curam ke kiri. Naluri memutuskan untuk gunakan sepatu menghentikan laju sepeda supaya tidak terjadi hal-hal yang mencelakakan. Persis cara lama seperti masa kecil dulu ketika bersepeda tanpa rem. Laju sepeda terhenti persis di puncak turunan. Lalu saya menunggu beberapa saat membiarkan piringan rem saya lebih dingin.
Malam ini saya masih beruntung bisa selamat. Setelah sesaat menunggu rem dingin, kami lanjutkan menuju Kota Pacitan. Jalan mendatar menyambut kami memasuki kota kelahiran presiden RI ke-6 ini. Suasana kota mulai kami rasakan meskipun malam itu aktifitas warga mulai sepi.
Meskipun malam, namun bisa terlihat kota yang berdiri sejak tahun 1745 ini cukup tertata rapih. Melintasi pusat kota dan pertokoan, kami menuju penginapan yang sebelumnya sudah Om Ruly hubungi. Sebuah penginapan bintang dua namun cukup bersih. Cukup baik buat kami untuk beristirahat malam itu.
Tak perlu menunggu lama, kami segera membagi kamar, mandi dan bersiap-siap untuk pergi sama-sama makan malam di bilangan Pantai Teleng Ria. Suasana malam yang santai kami lalui sambil menikmati santapan aneka masakan bahari khas Pacitan diiringin suara deru ombak pantai selatan Jawa.
Larut dalam buaian malam Kota Pacitan, esok paginya letih pun sirna. Kami segera bersiap melanjutkan petualangan berikutnya menuju Kota Blitar. Namun sayang sekali, Om Roi tidak bisa melanjutkan perjalanan dan harus kembali ke Yogyakarta lalu ke Jakarta karena mendadak ada tugas kantor. Tinggalah saya, Om David, Om Ruly dan Om Jay melanjutkan perjalanan ini melalui Ponorogo.
Rute ini relatif lebih jauh namun lebih menyenangkan dibandingkan melewati Trenggalek. Setelah sarapan roti tawar dan teh manis yang disediakan pihak penginapan, kamu briefing dan berdoa untuk keselamatan di perjalanan. Perjalanan kami lanjutkan ke arah pinggir kota menuju Kota Ponorogo.
Aktifitas warga mulai terlihat ramai meski waktu masih menunjukan pukul 06.15. Saya pun berinisiatif menawarkan rekan-rekan tim untuk sarapan makanan tradisional khas Pacitan. Tidak butuh waktu lama, kami pun menemukan warung sederhana tepat di sisi kanan di pinggir jalan utama yang kami lalui. Warung ini terlihat sedang ramai dikunjungi pelanggannya.
Kami menepi dan memarkirkan sepeda dan langsung mendekati gerobak jualan. Si penjual merupakan sepasang suami istri yang menjajakan nasi pecel lengkap dengan aneka lauk pendukungnya yang menggugah selera. Dengan Bahasa Jawa kami menyapa ibu penjual dan warga yang mengantri pesanan. Om David menjadi pusat perhatian karena mungkin jarang terlihat ada bule yang pernah mampir makan nasi pecel di warung itu.
Nasi pecel dan telur dadar pun kami pesan untuk berempat. Aneka sayur rebus segar dipadukan dengan kuah kacang bumbu pecel khas Pacitan nikmat sekali kami rasakan. Seakan memang sejiwa berpadu dengan nasi dan telur dadar ketika berada dalam mulut. Teh manis hangat pun menjadi penutup hidangan yang nikmat di pagi itu sebelum kami bergegas.
Udara pagi masih sejuk mengiringi kayuhan kami meninggalkan Kota Pacitan. Sawah, perkebunan dan rumah warga tertata harmonis menggambarkan harmonisasi hubungan manusia dan alamnya di daerah ini. Jalan yang kami lalui melewati Djetis Kidul tepat di sisi Sungai Grindulu dengan bebatuan yang menarik perhatian saya.
Bahkan ada yang berwarna merah yang membuat saya kagum. Om David dan Om Ruly yang memang berlatar belakang sebagai geologis bahkan sempat berhenti dan mengambil contoh batuan lalu asik mendiskusikannya. Rute ini menyuguhkan pemandangan bukit batu yang menarik dan kontur yang tidak terlalu berat untuk dilewati dengan bersepeda.
Setelah melewati tugu perbatasan Pacitan dan Ponorogo persis di sisi kiri sebelum dua jembatan, kami melaju menurun ke arah Ponorogo melewati Silahung dan Balong. Sebelum sampai di pusat Kota Ponorogo, kami berbelok ke kanan ke arah Kota Tulung Agung melewati jalan pedesaan untuk mencari jalan pintas ke jalan utama.
Cuaca panas tidak menurunkan semangat kami untuk tetap melaju melintasi jalan rusak di Desa Balong. Hingga memasuki Desa Tamansari, kami sampai di jalur utama Ponorogo menuju Kota Tulung Agung melalui Trenggalek. Rute tanjakan cukup panjang dan panas harus kami lalui perlahan menyusuri perbukitan.
Di awal rute ini tidak ada minimarket. Bahkan warung makan pun tidak kami temukan ada yang buka. Panas terik membuat saya memperlambat laju sepeda. Apalagi persediaan air minum yang saya bawa tidak banyak. Di ujung tanjakan yang cukup panjang, rute lalu menurun terjal dan di sebelah kanan terlihat megah Bendungan Tugu yang baru saja diresmikan oleh Bapak Jokowi Presiden Republik Indonesia.
Kami sempat berhenti sebentar di sebuah warung untuk makan siang dan mengisi perbekalan air minum. Melewati pinggir Kota Trenggalek menuju Kota Tulung Agung, jalan sudah agak mendatar. Saya di posisi paling belakang menjaga ritme rombongan supaya tetap rapat melewati jalan lurus dan rata.
Karena perbekalan minum kami sudah habis, kami menepi sejenak di sebuah minimarket. Nampak seorang ibu menggunakan sepeda sedang menepi juga di minimarket yang sama. Ibu sederhana itu mengais sisa-sisa kardus kemasan untuk dapat dijual lagi membuat kami terkagum akan semangat ibu ini bejuang di tengahnya kerasnya kehidupan. Perjalanan ini membuat kami merasa lebih menghargai dan mensyukuri kehidupan.
Kota Tulung Agung hanya kami lewati daerah pinggir kotanya. Melewati kota ini, saya jadi teringat dengan dr. Thomas sahabat kami di grup sepeda GBK Senayan karena beliau putra asli kota ini. Terlebih lagi ketika kami melintasi Rumah Sakit dr. Iskak tempat beliau sejak kecil biasa berobat.
Sayang sekali kami tidak bisa menjelajah lebih lanjut kota dengan luas 1.056 km² dan dikenal sebagai penghasil batu marmer terbesar di Indonesia ini. Dan karena hari sudah menjelang sore, kami lanjutkan melaju menuju Kota Blitar. Jalan yang relatif rata dan bagus membuat kami tanpa terasa sudah tiba di pintu masuk Kota Blitar.
Sekitar pukul 18.20 kami sudah memasuki gerbang pusat Kota Blitar. Kesan pertama yang saya rasakan, kota dikenal sebagai lokasi makam Bung Karno berada ini cukup rapih dan menarik untuk kami telusuri meskipun kota ini merupakan kota terkecil kedua di Provinsi Jawa Timur.
Menyusuri jalan yang cukup ramai diterangi lampu-lampu kota dan berbagai kendaraan yang melintas, kami berbelok ke kiri melewati jalan yang kecil namun tetap ramai menuju salah satu penginapan terkenal di kota ini. Hotel Patria berdiri megah di kiri jalan dengan dua buah patung Ganesha di depannya menyambut kami.
Biaya menginap di sini tidak terlalu mahal, apalagi kami satu kamar bisa tempati berdua. Malam itu saya satu kamar dengan Om Jay. Dan seperti biasa kami berberes pakaian dan mandi, lalu mencuci baju untuk dipakai lagi esok pagi.
Perut saya ternyata terasa sudah mulai lapar, dan teman-teman sepertinya sudah lelah dan tidak berminat untuk diajak jalan-jalan di sekitar hotel untuk sekedar mencicipi makanan khas Kota Blitar. Namun, saya tetap melangkah menyusuri sudut-sudut kota sekitar hotel.
Awalnya ke arah timur, lalu berbalik ke arah barat setelah tidak menemukan kuliner yang saya cari. Lalu di sebelah kiri terlihat ada sebuah lapangan parkir yang agak sepi dan dikelilingi deretan toko-toko kecil salah satunya yang saya ingat adalah Toko Sukardi Buah. Sebuah warung tenda sederhana dengan lampu temaram menarik perhatian saya untuk singgah.
Tertulis di kain lusuh Lontong Tahu Blitar di sisi warung itu. Ibu paruh baya menyapa dan menanyakan hidangan apa yang mau saya pesan. Tentunya saya pesan lontong tahu dan segelas teh tawar hangat. Hidangan sederhana yang terdiri dari potongan lontong, tahu goreng, telur dadar, kacang goreng, tauge, irisan daun seledri dan bumbu khas yang terasa ada unsur asam jawa serta kerupuk membuat saya amat terkesan dengan kombinasi cita rasa yang dirasakan yaitu sederhana dan nikmat.
Malam masih belum terlalu larut, setelah makan saya kembali ke hotel menemui teman-teman dan menemani mereka makan malam sambil membicarakan cerita perjalanan hari itu. Kira-kira pukul 22.00, kami kembali ke kamar masing-masing untuk beristirahat.
Jam masih menunjukan pukul 05.00 pagi. Raga seakan enggan beranjak dari peraduan. Namun semangat untuk melanjutkan petualangan menuju Kota Jember lebih mendominasi dari rasa letih setelah lima hari bersepeda. Pukul 06.00 seperti biasa kami sudah berkumpul dan briefing lalu berangkat. Menu hari itu adalah dari Kota Blitar menuju Kota Jember melewati Kabupaten Malang dan Lumajang.
Kami menyusuri yang berpenduduk sekitar 149 ribu jiwa ini ke arah timur menuju Malang melewati pusat Kota Blitar. Saya bersama Om David di depan mengayuh santai di jalan landai sambil berbagi kisah tentang keluarga. Dan pagi itu kami berempat memang tidak mengayuh terlalu cepat karena faktor fisik sudah mulai lelah dan cuaca pagi itu pun terasa lebih panas. Selang tiga jam dari Kota Blitar, kami pun berhenti beristirahat di salah satu minimarket. Seperti biasa, yang kami cari pasti minuman dingin dan kopi supaya tidak mengantuk.
Hari makin terik, namun kami putuskan tidak berlama-lama untuk beristirahat. Lambat laun rute menuju Kabupaten Malang kami rasakan semakin menanjak. Memasuki Gandusari perbatasan Blitar dan Malang, jalan meliuk sedikit menanjak menyambut kedatangan kami. Rindang pepohonan membawa kesejukan bagi kami melalui Jalan Raya Sidodadi di Kecamatan Ngantang.
Jalan berliku menanjak tanpa terasa kami pun lewati hingga di pertigaan terlihat papan petunjuk PLTA Sutami. Pembangkit Listrik Tenaga Air berkapasitas 3×35 Megawatt ini dibangun pada tahun 1973 di kawasan waduk Karangkates dan menjadi PLTA terbesar di Provinsi Jawa Timur. Lantas, kami lanjutkan meniti jalan yang masih menanjak. Tiga cerobong besar menjulang megah bisa kami lihat dari perbukitan di sisi kanan jalan yang kami lalui.
Selanjutnya kami melalui Pasar Sumber Pucung menuju Kepanjen. Terakhir kali saya ke kota Kabupaten Malang ini tahun 2006 dan suasananya terasa tidak jauh berbeda saat ini. Dari alun-alun kota kami melaju ke timur, ke arah Gondanglegi di tengah terik matahari yang makin menampakan intensitasnya.
Dan meski perut sudah mulai terasa lapar, kami sepakat untuk menahan lapar sejenak hingga tiba di warung makan di daerah Dampit yang menurut kabar dari Om Ruly menunya cukup enak. Akhirnya kami pun tiba di sebuah warung kecil sederhana bertuliskan Warung Ijo di sisi kiri jalan. Ibu separuh baya menyambut kami ramah dan mempersilahkan duduk.
Teras sejuk warung ini membuat kami urung makan siang malah rebahan. Minuman dingin elektrolit menjadi sasaran perhatian kami kemudian. Sambil rebahan kami berteduh di teras warung ditemani minuman dingin elektrolit dan es teh manis. Lumayan juga beberapa saat kami rebahan sambil menurunkan suhu tubuh, lantas kami memesan hidangan.
Berbagai hidangan sederhana seperti sayur bayam, tempe goreng, ayam goreng dan sambel sudah cukup buat kami. Siang itu kami kembali bersyukur dapat menikmati hidangan sederhana yang sehat, lezat dan harganya pun murah.
Matahari masih tetap memancarkan hangatnya ketika kami beranjak dari Warung Ijo menuju Lumajang. Melewati Pasar Kaligadung hingga Ampel Gading, rute ini masih relatif naik turun dan tidak terlalu berkelok-kelok. Namun memasuki Desa Sidorenggo jalan makin menanjak dan hawa sejuk dari lereng Gunung Semeru mulai terasa.
Dan tidak terlalu jauh dari desa itu, kami memasuki perbatasan Malang dan Lumajang. Sekitar 5 kilometer dari perbatasan, kami dapati gerbang masuk menuju Air Terjun Tumpak Sewu. Tepat di Desa Tamanayu, Om Ruly meminta kami berhenti. Ternyata GPS kami menunjukan bahwa kami sudah menempuh jarak tepat 1000 km saat tiba di desa tersebut. Untuk mengabadikannya, kami membuat video singkat tentang momen itu.
Rasanya masih cukup panjang jalan Kecamatan Pronojiwo ini harus kami lalui. Meski demikian, rasanya kami begitu menikmati perjalanan ini. Di sebuah warung cukup besar, kami menepi sejenak untuk minum. Kami melihat gereja berdiri megah dipisahkan jalan berhadapan dengan masjid megah yang sedang dibangun. Harmonisasi umat beragama ini membuat kami kagum.
Beranjak dari warung tersebut, kami lanjutkan menuju ke Jembatan Geladak Perak di Piket Nol. Ini salah satu ikon Kabupaten Lumajang dan salah satu alasan mengapa kami melewati jalur ini. Jalan menuju ke lokasi ini harus kami tempuh melewati jalan berliku dengan pepohonan rindang. Alunan angin menerpa dedaunan hutan seolah menyapa dan menyambut kedatangan kami.
Di depan mata kami pun membentang jembatan megah sepanjang 130 meter dengan pemandangan aliran Sungai Besuk Sat dari lembah Gunung Semeru. Di sisinya membentang pula jembatan yang terkenal juga dengan nama jembatan Gladak Perak yang dibangun pada jaman kolonial Belanda sejak tahun 1925 hingga 1940.
Berfoto di atas destinasi bersejarah ini pastinya tidak kami lewatkan. Kedua jembatan tinggi menjulang menghubungkan dua lembah curam yang dibelah oleh sungai aliran lahar Gunung Semeru. Kendaraan-kendaraan berat terlihat beralu lalang membawa material galian batu dan pasir melintasi jalan utama yang menghubungkan Malang dan Lumajang ini. Alam dengan segala kebaikannya menyediakan sumber kehidupan bagi masyarakat sekitar Piket Nol ini. Sayangnya ketika cerita ini ditulis, jembatan ini sudah luluh lantak diterjang lahar yang disemburkan Gunung Semeru pada 7 Januari 2022.
Jalan menurun panjang dan berkelok kemudian harus kami lalui kemudian. Kami harus berhati-hati menjaga jarak dengan kendaraan-kendaraan berat yang menurun lambat dan dari arah sebaliknya pun merangkak lambat. Meskipun begitu kami tetap melaju kencang memacu adrenaline. Hujan rintik dan awan mulai gelap dan di depan kami ada beberapa bagian jalan yang berlubang dan berlumpur.
Kira-kira 2 km dari jalan berlumpur itu, saya berhenti menunggu tiga rekan yang lain di belakang. Sekitar lima menit menunggu, satu persatu Om David, Om Ruly dan Om Jay pun tiba. Om Jay bercerita bahwa tadi dia sempat dimintakan uang oleh pemuda-pemuda yang ada di jalan rusak itu. Saya kaget juga dan tidak menyangka penduduk lokal yang terkenal ramah ada juga yang berperilaku tidak terpuji.
Hari makin sore dan mulai gelap saat kami melintasi Kecamatan Pasirian dan Kecamatan Tempeh, kami belum juga sampai di Kota Lumajang. Rencananya kami akan potong jalur melewati Jalan Lintas Timur untuk mempersingkat waktu tempuh tanpa melalui pusat Kota Lumajang. Menjelang pukul 19.00, kami putuskan untuk makan malam dulu, karena kuatir di rute yang akan kami lalui nanti tidak tersedia warung makan. Ayam geprek menjadi pilihan terbaik malam itu. Lantas kami berhenti sejenak untuk istirahat dan makan malam.
Usai perut kami terisi, perjalanan kami lanjutkan. Jalan agak menurun dan makin banyak kami temui kendaraan-kendaraan besar mengangkut pasir dan batu yang melintas. Om Ruly mengisyaratkan untuk kami siap-siap berbelok ke kanan. Sempat kami hampir salah jalan, namun untung sempat bertanya pada salah seorang warga yang melintas. Jalan yang kami lalui lebih kecil dan kondisinya kurang bagus.
Banyak lubang dan menyulitkan untuk dilalui dengan penerangan lampu sepeda kami. Saya putuskan untuk jalan beriringan dan pelan-pelan. Posisi saya paling depan, lalu Om Jay, Om David dan Om Ruly. Kami melaju di kecepatan 20 km/jam hingga 25 km/jam supaya tidak terlalu malam juga nanti tiba di Kota Jember. Kira-kira baru 2 km kami melaju, terdengar suara ledakan cukup keras di belakang. Saya menoleh sejenak dan berhenti sambil mengarahkan lampu sepeda saya ke Om Jay.
Ternyata Om Jay mengalami masalah dengan sepedanya. Ban depan dan belakang keduanya meletus saat melintasi jalan berlubang. Untungnya Pak Mulya tidak jauh dari kami di belakang. Demi keselamatan, Om Jay dan sepedanya kami sarankan untuk dievakuasi ke mobil Pak Mulya. Sisa perjalanan ke Kota Jember dijalani saya, Om David dan Om Ruly. Kami bertiga berjalan beriringan berganti-gantian di depan membelah angina supaya tidak terlalu lelah. Pada suatu daerah saya cukup kaget karena membaca papan nama daerah Jombang.
Sempat saya berpikir kami salah arah ke Kabupaten Jombang. Tapi ternyata kami baru tahu bahwa di Jember ada juga nama daerah Jombang. Salah satu kecamatan di barat daya Kabupaten Jember.
Memasuki Kota Jember, mulai terlihat pusat perbelanjaan besar dan masjid raya. Malam itu hujan sudah reda sehingga kami bisa lebih menikmati suasana kota terbesar di Jawa Timur dan terkenal sebagai salah satu penghasil tembakau sejak jaman kolonial Belanda. Om Ruly di depan memandu kami dengan GPS untuk mencari tempat penginapan ke arah timur kota.
Melewati Jembatan Geladak Kembar lalu kami berbelok ke kiri melintasi SMAN 1 Jember. Kira-kira 1 km dari situ, kami berbelok ke kanan masuk ke Jalan Doho. Tiba di penginapan Doho Homestay, rasa lelah tiba-tiba makin menjadi dan ingin segera beristirahat. Penginapan ini cukup bagus, bersih dan harganya pun lumayan murah.
Setelah registrasi di bagian receptionist, sepeda kami parkirkan di dekat pos satpam supaya aman dan kami ikat dengan pengaman. Lalu kami bergegas naik ke kamar masing-masing. Saya dan Om Jay kembali tinggal satu kamar malam itu. Setelah mandi, saya sempatkan untuk ngobrol sejenak dengan Om David, Om Jay dan Om Ruly membahas perjalanan hari itu dan rute esok hari sambil menikmati minuman dingin dan malam Kota Jember dari teras penginapan.
Pagi di Kota Jember cukup cerah, dan udara segar yang menyeruak melalui pepohonan di penginapan menyambut hari terakhir perjalanan kami. Rasa letih yang sudah hilang setelah beristirahat berganti kesegaran dan semangat baru untuk menyelesaikan penghujung rute ini. Sebelum melanjutkan perjalanan, kami sarapan dulu supaya lebih fit.
Om Jay memutuskan untuk bergabung kembali melanjutkan perjalanan. Kami pun lantas bahu-membahu membantu beliau mengganti ban dalam sepedanya. Kebetulan Om David membawa dua ban dalam cadangan yang ukurannya sama dengan ban sepeda Om Jay. Setelah itu, kami briefing dan berdoa sebelum memulai perjalanan. Beriringan kami mengayuh keluar dari Jalan Doho berbelok ke kanan ke arah Banyuwangi.
Kota Jember pagi itu sudah ramai dengan hiruk pikuk aktifitas warga. Jalan sudah mulai ramai meski waktu masih masih menunjukan pukul 07.00 pagi dan cuaca sudah mulai terik. Tanjakan mulai kami rasakan ketika memasuki Desa Sempolan. Seperti yang sudah, kami menanjak beriringan dengan truk dengan muatan hasil laut dan hasil perkebunan yang akan dikirim menuju Banyuwangi.
Tiba di kawasan wisata pinus Sidomulyo, hawa hutan pinus membawa kesejukan. Beberapa warung makan dengan menu menggugah selera nampak pula di sisi jalan. Setelah itu kami mulai memasuki kawasan Alas Gumitir. Rute legendaris yang konon menyimpan kisah-kisah misteri.
Pepohonan kopi arabica nampak dibudidayakan di sela-sela pohon pinus menjulang di kedua sisi jalan yang meliuk menanjak dengan tikungan-tikungan tajam. Laju kami sempat terhenti karena ada perbaikan jalan. Kami harus bergantian melintas dengan pengguna jalan lain dari arah sebaliknya. Lalu kami lanjutkan menanjak hingga puncak Gumitir.
Tanjakan terakhir touring kali ini bisa kami lalui dengan santai sambil lebih menikmati udara segar dan pemandangan asri kawasan Alas Gumitir. Sesampainya di puncak Gumitir, jalan mulai menurun cukup curam. Dari arah sebaliknya, truk gandeng tua penuh dengan muatan tebu terlihat terengah-engah merayap diiringi rangkaian panjang kendaraan-kendaraan di belakang menunggu kesempatan untuk melewatinya.
Turunan panjang dan meliuk selanjutnya menjadi hiburan kami. Asik menikmati jalan menurun, kami tiba di monumen patung Gandrung karya perupa patung terkenal I Wayan Sastra. Tidak lupa pula kami sempatkan untuk berfoto di ikon terkenal Banyuwangi tersebut.
Sadar kami sudah memasuki daerah Kabupaten Banyuwangi, rasa letih pun terasa berkurang berganti semangat sebentar lagi kami sampai tujuan. Sepeda kami laju menurun melewati Kecamatan Kalibaru. Setelah turunan, kali ini jalan benar-benar rata. Di kiri jalan warung yang menjajakan kelapa muda segar seakan mengajak kami untuk sejenak singgah. Kami pun singgah di salah satu warung untuk meminum kelapa muda melepaskan dahaga.
Satu persatu kelapa muda dikupas dan disajikan oleh sepasang suami istri penjual. Dan selanjutnya kami menikmati segarnya kelapa seraya beristirahat dan bercengkrama dengan si penjual yang menanyakan asal dan tujuan kami yang membuat beliau terheran. Puas menikmati kelapa muda, saya minta ijin pemilik warung ke toilet untuk buang air kecil. Saat berjalan kembali ke depan warung, saya terkaget melihat seorang ibu terbaring lemah di atas tempat tidur seadanya tanpa kasur di ruangan dengan pencahayaan seadanya tanpa lampu.
Pelan-pelan saya menghampiri ibu itu, dan istri si pemilik warung pun muncul dan menghampiri saya seraya berkata lirih bahwa yang terbaring itu ibunya. Beliau sudah sakit cukup lama dan hanya bisa terbaring lemah akibat sakit tulang yang dideritanya. Naluri saya untuk menolong pun muncul walaupun hanya bisa mendoakan. Kemudian saya minta ijin pada ibu itu untuk berdoa di samping beliau. Karena sejatinya perjalanan ini bukan hanya menerima dan menikmati hal yang baik dari Yang Maha Kuasa, namun pula memberikan hal yang baik bagi sesama.
Tidak lama kami berhenti di warung kelapa muda, kami lanjutkan perjalanan ke arah timur Banyuwangi lalu masuk ke Kecamatan Glenmore dengan karakter dataran tinggi dan sejuk yang merupakan lereng Gunung Raung. Nama daerah ini menarik dan tidak lazim dipakai sebagai penamaan daerah di Pulau Jawa. Konon penamaan berasal dari sebuah perkebunan tembakau yang dinamai Glenmore milik seseorang berkebangsaan Inggris, Ros Taylor sejak tahun 1910. Kebetulan juga waktu sudah makin siang dan kami sudah mulai lapar.
Tiba di Kecamatan Genteng, saya memberi isyarat pada teman-teman untuk menepi ke kanan menuju warung makan yang cukup menarik perhatian saya karena terlihat masih baru dan bersih yang bertuliskan Warung Bunda. Pecal, nasi rawon, tempe goreng, peyek dan telur dadar menjadi pilihan menu menarik buat kami. Tidak lupa pula kami memesan minuman ringan temu lawak khas daerah itu juga. Minuman yang mirip dengan apa yang pernah kami minum waktu bersepeda menuju Pabangbon di Bogor, Jawa Barat.
Tidak perlu menunggu lama, hidangan yang kami pesan pun tiba dan langsung kami santap. Bumbu pecal khas Banyuwangi berpadu dengan aneka sayur rebus dan tempe goreng menghasilkan harmonisasi yang sempurna. Bahkan Om David berujar, “this is very good.” Sementara teman-teman yang lain bersiap melanjutkan perjalanan selepas makan siang yang sederhana namun nikmat, saya menyempatkan diri menghampiri objek menarik di dekat warung makan itu. Adalah tugu Desa Setail, yang bila diucapkan seolah berasal dari kata “style”. Satu hal lagi yang unik saya temukan di perjalanan ini.
Sisa perjalanan menuju pelabuhan penyeberangan Ketapang masih sekitar 50 km lagi. Kami berhara bisa tiba sekitar pukul empat sore. Kebetulan rute menuju ke Pelabuhan Penyeberangan Ketapang pun relatif menurun meskipun cuaca terasa makin terik kala itu sepeda kami laju cukup kencang.
Saya rasakan semangat dari teman-teman juga semakin tinggi ketika kami mulai memasuki kota Banyuwangi. Pasar Rogojampi masih ramai dengan hiruk-pikuknya. Pasar paling ramai yang kami lihat hari itu setelah bersepeda dari Kota Jember. Sesudah pasar, kami lanjut lurus mengikuti arah petunjuk menuju Kota Banyuwangi.
Hotel Kokoon terlihat megah di sisi kiri jalan mengingatkan saya pada rekan-rekan tempat saya kerja di perusahan yang dulu kabarnya sering menginap di hotel saat mengerjakan proyek panas bumi di Ijen. Sesampainya di persimpangan Warung Biru, kami berbelok ke kanan ke arah Pantai Boom karena rekayasa lalu lintas yang membuat arus lalu lintas menjadi satu arah.
Memasuki kota di ujung timur Pulau Jawa yang terkenal dengan makanan khasnya yang dinamakan Sego Tempong ini terasa dinamika perekonomiannya cukup bagus dari sektor pariwisata dengan adanya banyak penginapan bagus serta rumah makan dengan aneka menu khas hasil laut. Pastinya saya akan kembali ke kota ini untuk menjelalah lebih lanjut objek wisata dan kulinernya.
Dari Kota Banyuwangi menuju Pelabuhan Ketapang, jalan tidak terlalu berat kami lalui karena menurun. Sehingga kami bisa menikmati suasana sore hari dengan angin laut yang berhembus dari sisi kanan kami. Dan atas kemurahan Yang Maha Kuasa pukul 15.50 kami semua bisa tiba pelabuhan Ketapang.
Kami beristirahat sebentar dan berfoto. Lalu kami melakukan tes antigen sebagai syarat diperbolehkan menyeberang ke Pulau Bali di tengah palgebluk Covid 19. Sekitar pukul enam sore, kapal kami sudah lepas sauh menuju Pulau Bali. Di sebelah timur terlihat gemerlap lampu Pulau Bali seakan menanti kami singgahi segera.
Waktu berlalu kami isi dengan bersenda gurau sambil menikmati seduhan mie instan ditemani angin malam melepas letih di antara Pulau Jawa dan Pulau Bali setelah tujuh hari bersepeda. Sekitar dua jam berselang, kapal kami lego jangkar dan merapat dengan selamat di Pelabuhan Gilimanuk, Pulau Bali. Malam itu kami semua mendarat dengan selamat di Pulau Dewata. Rasa letih hilang berganti bahagia serta syukur.
Bukan kuat dan gagah kami, namun semua karena kehendak Yang Maha Kuasa. Bagian kami hanya menjalankan guratan perjalanan dalam algoritma kehidupan dengan bijak memaknainya.
Selesai.
[***]