KedaiPena.Com – Banyak wartawan dan kolega bertanya pada founder Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, mengapa dalam konferensi pers 10 Februari 2017 menampilkan data elektabilitas tidak satu angka, tapi ada angka batas bawah dan batas atas.
Agus-Sylvi di angka 24.6 persen-39.4 persen. Pasangan Ahok-Djarot di angka 27.2 persen-39.2 persen. Pasangan Anies-Sandi 25.6 persen-38.4 persen.
Alasannya karena pilkada Jakarta lebih liar dari umumnya pilkada lain. Tahun 2012 sudah membuktikannya. Hasil akhir pilkada DKI 2012 membalikkan hasil akhir survei yang saat itu dipublikasi.
“Umumnya hasil akhir lembaga survei Pilkada DKI 2012 menunjukkan pasangan Fauzi Bowo- Nara menang. Hasil akhirnya pasangan Jokowi-Ahok yang menang,” kata dia dalam keterangan pers yang diterima KedaiPena.Com, ditulis Sabtu (11/2).
Penyebabnya dua hal, ujar Denny, di balik satu angka yang diumumkan lembaga survei ini, terdapat ‘soft supporter’ atau pendukung yang masih mungkin berubah. Juga terdapat pemilih yang belum menentukan pilihannya. Mereka disebut ‘swing voters’, pemilih mengambang.
Untuk kasus pilkada Jakarta 2017, jumlah swing voters itu masih besar, yakni 22 persen. Itu jumlah yang masih bisa membalikkan keadaan.
Hal lain adalah golput. Dalam dua pilkada DKI, di tahun 2007 dan 2012, golput di atas 30 persen. Jika lebih banyak yang golput dari pendukung pasangan tertentu, dengan sendirinya hasil akhir bisa berubah.
“Itu sebabnya, sebaiknya publik diberi info soal batas bawah dan batas atas elektabilitas masing-masing calon itu. Namun dari data yang ada, seliar-liarnya pilkada DKI 2017, pilkada besar kemungkinan berlangsung dua putaran,” tandas dia.
Laporan: Muhammad Hafidh