Artikel ini ditulis oleh Ahmad Khozinudin, Sastrawan Politik.
“Namun kalau kita mengajak masyarakat untuk tidak memilih, itu bisa dipidanakan”
[Astri Megasari, anggota KPU DKI Jakarta, Jumat 13 September 2024]
Pilkada Jakarta, adalah prototipe kegagalan Parpol merayu rakyat untuk ikut nyoblos dalam Pilkada. Rakyat, justru kompak melawan Parpol & oligarki dengan gerakan Golput.
Fenomena keemohan rakyat terlibat nyoblos di Pilkada, juga terjadi diluar Jakarta. Mereka, merasa sia-sia ikut nyoblos. Tak ada manfaatnya.
Masalahnya sederhana, karena Parpol jumawa. Parpol sombong, karena hanya menghadirkan calon yang pro oligarki, dan menolak calon yang dikehendaki rakyat. Gagalnya Anies Baswedan maju Pilkada Jakarta, adalah karena faktor kesombongan Parpol dan Oligarki.
Parpol sudah berusaha merayu, agar rakyat tetap terlibat masuk TPS meski tidak ada calon yang dikehendaki. Parpol, berupaya mendandani calon mereka dengan bedak dan make up politik yang tebal.
Tapi, karena hujan fakta begitu deras, semua make up politik yang dibuat parpol untuk Paslon mereka, hancur berantakan. Ridwan Kamil ditolak warga, Pramono dan Rano juga begitu. Keduanya, tak mendapat tanggapan hangat dari warga Jakarta. Darma Pongruken? Tak usah dihitung, lebih parah.
Setelah Parpol gagal merayu rakyat untuk datang ke TPS, kini giliran KPU yang ‘mengancam pidana’ kepada rakyat agar datang ke TPS dan nyoblos. KPU merujuk pada Pasal 187A ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada.
Padahal, pasal ini hanya bisa mengancam pidana bagi mereka yang Golput dan coblos semua karena uang atau materi lainnya. Sedangkan Golput karena kesadaran, tidak bisa dipidana.
Bunyi lengkap Pasal 187A ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 sebagai berikut:
“(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi Pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu sebagaimana dimaksud pada Pasal 73 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
“(2) Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1).”
Jadi, Golput atas kesadaran itu tidak dapat dipidana. Golput karena kesadaran bahwa memilih tidak akan mengubah keadaan, karena pilihan yang dihadirkan semuanya boneka parpol dan oligarki, sehingga percuma memilih diantara boneka tersebut, adalah hak konstitusional warga negara.
Golput, juga bukan perbuatan melawan hukum. Karena memilih adalah hak, bukan kewajiban. Warga negara yang memilih untuk tidak menggunakan haknya (Golput) adalah perbuatan yang sah, legal dan konstitusional.
Karena UU tidak pernah menyatakan memilih sebagai kewajiban. Memilih adalah hak. Orang yang tidak menggunakan haknya, bukan melawan hukum. Berbeda dengan orang yang tidak menunaikan kewajiban, yang terkategori perbuatan melawan hukum.
Apalagi, orang yang Golput karena kesadaran bahwa perubahan tidak bisa dicapai melalui Pilkada. Perubahan, hanya dapat dicapai dengan aktivitas dakwah.
Orang yang memilih Golput, dengan tetap konsisten menjalankan kewajiban dakwah, berupa amar Ma’ruf nahi mungkar dan menyeru untuk menerapkan syariah Islam secara kaffah, adalah pilihan mulia, pilihan yang sah, legal, konstitusional dan diridloi Allah SWT, tidak bisa dipidana.
[***]