KedaiPena.Com – Ketua Umum Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (PP GMKI), Sahat Martin Philip Sinurat menilai tindakan represif yang dilakukan Polisi terhadap demonstran dari elemen Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) pada Kamis, 1 Desember 2016 lalu, adalah kesalahan besar.
“Mengapa, karena pada saat demo damai yang dilakukan oleh teman-teman FRI-WP dan Aliansi Masyarakat Papua (AMP) itu. Polisi memilih opsi represif kepada pengunjuk rasa yang berdemo dengan damai. Ini dapat disimpulkan sebagai kejahatan terhadap manusia dan demokrasi†kata Ketum PP GMKI dalam reesnya yang diterima Kedaipena.Com, Senin (5/12).
Sahat melanjutkan, pasca tindakan represif kepolisian itu memancing banyak dugaan. “Kami menduga negara telah memberikan sebuah perlakuan berbeda terhadap kelompok masyarakat atau rakyatnya dalam berdemonstrasi, seperti saat masyarakat Papua berdemo itu,†katanya.
Ia menjelaskan, aksi unjuk rasa FRI-WP dan AMP sebenarnya adalah aksi bela rakyat Papua yang akan dilakukan dengan super damai. Mereka ingin menyampaikan aspirasi dan membela rakyat di Tanah Papua. Namun pemerintah mempunyai versi sendiri, dengan mengatakan demonstran tidak memiliki izin dan memukul polisi terlebih dahulu. Sehingga berdampak pada pendekatan represi yang mengakibat kekerasan dalam penanganan unjuk rasa tersebut, banyak dari demonstran mengalami cedera fisik.
“Cedera fisik dapat dengan mudah sembuh, tapi rasa sakit hati akibat perlakuan diskriminatif saat menyampaikan aspirasi? Itu sulit disembuhkan,†ujar Sahat.
Semestinya, sambung Sahat, pemerintah menggunakan pendekatan dialog dan kemanusiaan, seperti hal-nya yang dilakukan pemerintah terhadap demo-demo lainnya.
Ia pun mencontohkan, mengapa Kapolri dapat duduk merencanakan unjuk rasa dengan pemimpin demo 212. “Seharusnya Presiden dapat memerintahkan Kapolri untuk melakukan hal yang sama terhadap teman-teman FRI-WP dan AMP, apalagi Kapolri pernah lama di Papua,” kata Sahat.
Sahat juga mengingatkan Menteri Koordinator Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan agar tidak sembarangan memberikan tuduhan anarkis. Menurutnya, apa yang disampaikan Luhut pada tanggal 1 Desember lalu di hadapan ratusan Pendeta dan umat gereja tidak sesuai dengan kejadian di lapangan.
“Kita mengonfirmasi langsung kepada demonstran terkait apa yang disampaikan Pak Menko pada tanggal 1 Desember lalu di aula PGI, bahwa demonstran yang terlebih dahulu memukul polisi. Ternyata faktanya tidak seperti itu,†pungkasnya.
Perlu diketahui, kehadiran Luhut Binsar Pandjaitan di aula PGI dalam rangka diskusi publik Kondisi Terkini Kebangsaan yang dilakukan oleh Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia.
Sahat meminta pemerintah memandang jernih persoalan yang sedang terjadi di Papua. Pemerintah pusat menyalahkan masyarakat Papua yang tidak dapat mengelola dana Otonomi Khusus. Padahal dana tersebut tidak dikelola oleh rakyat, melainkan oleh pemerintah di daerah, yang notabene juga merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat.
“Seharusnya pemerintah mengevaluasi dan mengawasi kinerja aparatnya di Papua, penanganan korupsi di daerah jangan hanya sebatas wacana,” ujar Sahat.
Terakhir Sahat menyerukan kepada pemerintah untuk memprioritaskan pembangunan SDM masyarakat Papua. “Stop kekerasan dan ketidakadilan terhadap masyarakat Papua! Pemerintah harus memenuhi kebutuhan gizi dan tenaga kesehatan, tenaga dan fasilitas pendidikan, serta memperlakukan rakyat Indonesia di Papua dengan penuh kasih dan empati. Saya percaya, di lubuk hati terdalam, masyarakat Papua masih menganggap dirinya sebagai Indonesia, namun mereka butuh keadilan dan kesetaraan sebagai sesama warga negara,†pungkasnya.
Laporan: Ichad