Ditulis oleh Taufan Rahmadi Praktisi Kreatif Strategi
PILPRES 2024 dapat dikatakan begitu berbeda dari edisi pilpres sebelumnya. Ini bukan hanya karena kompetisi kali ini diisi oleh pertarungan lebih dari dua paslon, melainkan hadirnya sosok Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Jokowi.
Semua orang sekiranya sepakat majunya Gibran sebagai cawapres Prabowo Subianto benar-benar mengundang gelombang perhatian publik. Mulai dari putusan kontroversial Mahkamah Konstitusi (MK), isu politik dinasti, hingga mereka yang meremehkan Gibran karena usianya masih terbilang muda.
Setelah ditetapkan sebagai cawapres definitif, sosok Gibran semakin menjadi sorotan utama publik. Ada banyak isu yang mendera Wali Kota Solo itu. Mulai dari kesalahan menyebut asam sulfat, hingga keheranan publik soal Gibran tidak menghadiri panggung debat-debat terbuka.
Terkait sosok Gibran yang menyerap perhatian publik kepadanya, ada dua hal yang ingin saya bahas. Dua hal ini saya rasa tengah luput dibahas publik. Pembahasan soal Gibran seolah hanya berkutat pada isu politik dinasti, sosok bau kencur, dan terminologi negatif lainnya.
Pertama: Psikologi Gibran
Pertama, terlepas dari terpaan sentimen negatif terhadap Gibran, apakah kita pernah membayangkan bagaimana rasanya menjadi Gibran saat ini? Mungkin benar Gibran memiliki privilese, tapi apakah privilese itu mudah untuk diambil?
Saya yakin, Gibran pasti sadar bahwa keputusannya menjadi cawapres Prabowo dapat memantik gelombang, bahkan tsunami kritik publik. Namun, anak muda berusia 36 tahun ini tetap maju, dan bahkan tidak membalas ribuan cacian terhadap dirinya setiap harinya.
“Titip pesan saja, kita sedang banyak serangan, fitnah, hoaks, berita negatif. Saya sarankan untuk tidak tanggapi. Diemin aja, disenyumin saja,” ungkap Gibran dalam Konsolidasi Koalisi Indonesia Maju Sumatera Utara, di Kota Medan, Sumatera Utara (18/11/2023).
Siapa yang bisa memiliki mental tangguh seperti itu? Berapa banyak anak muda yang tahan menghadapi ribuan kritik dan cacian setiap harinya? Jangankan anak muda, bahkan politisi senior sekalipun saya rasa akan sulit di posisi Gibran saat ini.
Ketika ramai dikritik soal asam sulfat, Gibran juga tidak bersikap defensif. Gibran dengan berlapang dada mengakui kesalahannya. Dalam pandangan saya, melihat berbagai pernyataan terbuka politisi selama ini, tidak banyak politisi yang mau mengakui kesalahannya seperti itu.
Kedua: Gibran adalah Berita Nasional
Kedua, apabila kita melihat dari studi marketing, sosok Gibran adalah apa yang disebut dengan top-of-mind awareness atau TOMA. Nama Gibran telah menempati puncak kesadaran pasar politik. Semua orang menunggu setiap pernyataan dan gestur politiknya.
Setiap Gibran memberi pidato dan turun ke lapangan untuk blusukan, berbagai pihak mendengar dan melihat dengan seksama. Buktinya kita bisa melihat ratusan headline berita nasional yang membahas nama Gibran.
Tanpa berlebihan, saya rasa dapat dikatakan Gibran adalah berita nasional itu sendiri. Nama Gibran memiliki news worthy atau nilai berita yang begitu tinggi. Coba bayangkan, Gibran bahkan belum menjadi wakil presiden, tapi sosoknya sudah mampu bersaing hingga menutup isu-isu nasional lainnya. Sebagai contoh, orang lebih sibuk membahas Gibran daripada isu Rohingya, Piala Dunia U-17, hingga penetapan tersangka Firli Bahuri.
Dalam pengamatan saya, ada satu faktor kunci yang membuat Gibran memiliki news worthy yang begitu tinggi. Faktor itu memanfaatkan aspek psikologi, yakni bias kelangkaan (scarcity bias). Karena Gibran tidak seintens kandidat lain memberi pernyataan, setiap pernyataan Gibran menjadi terlihat begitu bermakna. Ini sama dengan prinsip mendasar supply and demand. Kenaikan harga suatu barang berbanding lurus dengan kelangkaannya.
Kasusnya mungkin berbeda apabila Gibran setiap hari mengeluarkan pernyataan. Kita bisa ambil contoh kasus kandidat lainnya. Karena sering menghadiri forum debat publik, kehadiran mereka di forum semacam itu tidak lagi menjadi sesuatu yang diburu beritanya. Tetap ada pemberitaannya, tapi news worthy-nya tidak begitu tinggi.
Atas pengamatan itu, saya melihat pernyataan Gibran soal “hanya akan menghadiri debat resmi dari KPU” adalah tepat. Bukan bermaksud untuk membela, tapi dari kacamata studi marketing, itu menciptakan efek kehadiran Gibran akan begitu dinanti di debat pilpres KPU nantinya.
Saya yakin, berbagai pernyataan Gibran nantinya akan menjadi quotes. Ini saya lihat pada kasus pidato Gibran ketika akan mendaftar di KPU pada 25 Oktober kemarin. Awalnya banyak orang mengatakan Gibran tidak pandai pidato. Tapi, pidato sederhana Gibran di momen itu menjadi headline dan quotes di mana-mana. Kalimat “tenang saja Pak Prabowo, tenang saja, saya sudah ada di sini” benar-benar mudah untuk diingat dan begitu berkesan.
Saya rasa, kita patut menunggu kehadiran Gibran di forum debat resmi KPU nanti. Quotes apalagi yang akan keluar, mari menanti.
(***)