KedaiPena.Com-Pemerintah diminta dapat mendorong desain untuk sektor pertanian lebih mengedepankan aspek keberpihakan. Hal ini mulai dari keberpihakan terkait anggaran hingga menyediakan infrastruktur pendukung sektor pertanian seperti pupuk dan lainnya.
Demikian disampaikan Anggota DPR RI Fraksi Partai Gerindra Abdul Wachid
saat melihat kondisi para petani saat ini yang tengah menghadapi kegelisahan imbas ketersediaan dan akses akan pupuk kian sulit terjangkau.
“Petani sekarang benar-benar susah. Karena politik anggaran subsidi pupuk yang menyentuh petani sangat kecil, bahkan di kurangi,” ungkap Ketua DPD partai Gerindra Jawa Tengah itu kepada wartawan,Rabu,(14/9/2022).
Padahal, kata Wachid, pupuk sangat diperlukan para petani menjelang masa tanam seperti saat ini.
“Sekarang sudah mulai menjelang musim hujan, para petani mulai mengolah kebun dan mencari pupuk. Tapi pupuk di toko pupuk langka, seperti Urea, Phonska apalagi Za sudah tidak di subsidi lagi,” ungkap Ketua Bidang Produksi dan Pemasaran Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) itu.
Untuk diketahui, ungkap Wachid lagi, Pemerintah mensubsidi Urea hanya 75 persen, Phonska hanya 35 persen dari kebutuhan Nasional.
“Jadi otomatis pupuk akan sulit dan kurang dari kebutuhan. Ditambah lagi ketika Petani butuh pupuk harus dengan kartu tani, sistem ini akan lebih menyulitkan para petani,” tandas Ketua Dewan Penasihat Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI).
Lanjut Wachid mengungkapkan, kondisi para petani kian sulit tatkala pemerintah tidak menggubris usulan yang diajukan salah satu Pemerintah daerah.
“Contoh ini: Pemda Jepara mengajukan alokasi tambahan pupuk subsidi sampai sekarang belum di ACC. Informasi yang aku dapat, alokasi pupuk misalnya untuk pupuk Phonska sekarang sudah habis. Padahal para petani masih banyak yang mengajukan lewat kartu tani,” terang eks Anggota Komisi VI DPR RI itu.
Yang jelas, kata dia, kondisi semacam ini semakin mempertegas bahwa sektor pertanian masih jauh dari kata ideal apalagi menuju swasembada pangan.
“Sekarang petani ibaratnya sudah jatuh ke tiban tangga pula, karena, harga BBM mahal untuk mengolah kebun bajak tanah dan pengairan di tambah pupuk langka. Mana mungkin akan swasembada pangan. Hasil panen di jual murah, karena daya beli masyarakat rendah,” pungkas Anggota Komisi VIII DPR RI itu.
Laporan: Tim Kedai Pena