Artikel ini ditulis oleh Abdul Rohman Sukardi, Pemerhati Sosial dan Kebangsaan.
Dua minggu jelang pilpres 2024, gelombang seruan moral dari kampus bermunculan. Narasi besarnya seputar etika penyelenggaraan bernegara dan netralitas pejabat publik. Termasuk netralitas eksekusi program-program sosial.
Civitas akademika merupakan salah satu benteng tegaknya peradaban. Ia memiliki power of idea. Kekuatan gagasan. Tempat hal-hal ideal dibahas dan dipelajari. Biasanya hadir sebagai pendorong dan pengawal tegaknya perubahan.
Apakah fenomena minggu-minggu ini mencerminkan kebangkitan elan vital gerakan kampus? Ataukah masih sebatas romantisisme akan heroisme pengalaman masa lalunya sebagai pengawal perubahan?.
Tentu masih perlu ditunggu kelanjutannya. Seberapa kuat endurance (daya tahan) pengusung gerakan itu. Seberapa besar resonansi publiknya. Seberapa besar tingkat keberhasilannya.
Kita hanya bisa membandingkan dengan dua gerakan besar civitas akademika pada pengalaman sejarah Indonesia modern. Gerakan tahun 1966 dan 1998. Kenapa?
Dua peristiwa itu bisa menjadi bench mark gerakan civitas akademika karena sejarah keberhasilannya. Dua peristiwa itu membawa Indonesia pada titik balik perubahan.
Salah satunya melalui gagasan yang diperjuangkan. Ide perubahan yang dibawanya bersifat executable, bisa dieksekusi. Bukan gagasan utopis. Bisa mudah dipahami khalayak dan bisa diterapkan.
Gerakan 1966 mengusung isu Tritura. Pertama, pembubaran PKI. Kedua, pembersihan PKI dari unsur-unsur G30S/PKI. Ketiga, turunkan harga (perbaikan ekonomi).
Oleh rezim orde baru, esensi tuntutan itu dikemas dalam gagasan besar sebagai kembali pada Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Itulah spirit rezim Orde Baru yang memimpin Indonesia selama 32 tahun.
Pada tahun 1998, secara garis besar mengusung ide demokratisasi. Dijabarkan gagasan itu kedalam beberapa varian. Pertama, ubah paket UU Politik. Pembatasan pemilu hanya diikuti 3 parpol harus diubah dengan melibatkan sebanyak mungkin kontestasan.
Kedua, hapuskan dwifungsi ABRI. Profesionalisme prajaurit harus ditegakkan. Tidak bisa dicampuradukkan dengan pengelolaan kebijakan publik yang lain. Gagasan ini diwujudkan dengan prinsip TNI Kembali ke Barak.
Ketiga, tuntutan desentralisasi. Diwujudkan dengan pelaksanaan otonomi daerah dalam urusan pemerintahan. Sentralisasi harus segera diakhiri.
Keempat, pemberantasan KKN sesuai prinsip-prinsip penegakan hukum. Diwujudkan dengan UU anti KKN dan pendirian KPK.
Kelima, pembatasan masa jabatan presiden. UUD 1945 mengizinkan presiden bisa dipilih kembali usai menjabat. Tanpa pembatasan berapa kali harus terpilih. Ketentuan itu harus diubah, presiden maksimal menjabat hanya dua periode.
Itulah contoh betapa ide perubahan yang diusung bersifat executable. Bisa diterapkan. Bukan hanya mudah dipahami oleh publik.
Bagaimana dengan ide perubahan yang di usung civitas akademika pada minggu-minggu ini?.
Soal etika, muara dari dari dialektika etik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah berupa peraturan hukum. Apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, akan penjadi rule of the game. Implementasinya tentu akan mengundang banyak varian pendapat.
Begitu pula dengan netralitas pejabat publik. Ujung dari dielaktika soal ini adalah ketersediaan peraturan. Maka ruang permainannya bagaimana menyediakan peraturan yang mengikat soal ini.
Baik soal etik dan netralitas pejabat publik sudah tersedia aturan main. Termasuk aturan main dalam memperbaiki aturan mainnya.
Maka jika diukur dengan kekuatannya sebagai pendorong perubahan, gerakan kampus yang digulirkan minggu-minggu ini masih bersifat absurd. Belum bisa merumuskan isu gerakan bersama sebagai pemicu perubahan yang bersifat executable.
Gerakan seperti itu biasanya mudah dipatahkan oleh nerasi balik. Atau gerakan tandingan.
Jaksel 04-02-2024
[***]